ADA DAN PENGADA
Mata Kuliah Filsafat Agama
PENDAHULUAN
Ilmu Sejarah
telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat
menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa
Yunani ditakdirkan Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi
mereka ilmu itu adalah suatu keterangan rasional tentang sebab-musabab dari
segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos yang teratur dengan aturan
kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang menguasai ilmu
orang Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan rasional. Pada
hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar
dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir
menurut gagasan-gagasan magi dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak
rasional. Dengan berilmu dan
berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala sesuatu.
Dalam berkelana
mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada kebenaran
yang absolut atau yang mutlak yaitu ‘Causa Prima’ dari pada segala yang ada,
bahwa dalam hal ini yaitu Allah Maha Pencipta, Maha Besar, dan mengetahui. Oleh
karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah mahluk
pencari kebenaran. Dengan demikian Di dalam mencari kebenaran itu manusia
selalu bertanya. Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah
pertanyaan yang timbul. Manusia ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal
mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Dengan
sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan pengetahuan yang luas sekali
yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan kedalam berbagai disiplin
keilmuwan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada
ribuan tahun yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti
antara lain: tentang asal mula dan tujuan manusia, tentang hidup dan mati, tentang
hakikat manusia sebagainya. Ketidak mampuan Ilmu pengetahuan dalam menjawab
sejumlah pertanyaan itu, maka Filasafat tempat menampung dan mengelolahnya.
Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya menyelidiki salah satu
bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian manusia.
Yang melatar belakang belakangi Penulis mengambil tema “Fisafat Ilmu dan Agama”
dari mata kuliah Filsafat Ilmu adalah merupakan kajian dari pengembangan pada
penerapan sistem yang erat kaitanya dengan Manusia dengan transendennya dapat
mengatasi struktur alam jasmani, dengan budinya dapat mengembangkan ilmu
pengetahuannya. Manusia dengan ilmu pengetahuannya mencari bukti-bukti sebagai
evidensi untuk mendapatkan kebenaran. Hanya dengan ilmu pengetahuanlah manusia
mendapatkan kebenaran,namun karena sifat tidak puas yang ada pada manusia, maka
manusia selalu mencari kebenaran.
A.
FISAFAT ILMU DAN AGAMA
Dalam perspektif falâsifah,
filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa
yang hendak dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami
sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan secara
bebas; dan agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas
tampak dari perkataan dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah yang
digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari filsafat adalah millah;
bukan dîn. Ini menunjukkan kehendak Al-Fârâbî membedakan filsafat secara
kontras tidak dengan tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi
eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah
daripada dîn. Millah lebih tepat karena dia mengacu pada komunitas religius di
bawah sanksi ilahi dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau
perintah-perintah hukum moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari
tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan
praktik-praktik komunitas religius ini.
1. FILSAFAT.
Kata-kata "filsafat",
"filosofi", "filosofis", "filsuf",
"falsafi" bertebaran di sekeliling kita. Apakah pemakaiannya dalam
kalimat-kalimat sudah tepat atau sesuai dengan arti yang dimilikinya, kita
acapkali tidak merisaukan hal itu, mungkin karena kita sendiri juga kurang
paham dan belum berkesempatan memeriksa beberapa literatur atau pun bertanya
kepada mereka yang berkompeten menjelaskan hal itu. Sementara itu, kita
mengerti bahwa beberapa peristilahan ada karena memiliki latar belakang yang
unik.
Suatu peristilahan perlu dipahami
konteks-nya untuk memperoleh kejelasan maknanya, baik itu konteks sosial,
budaya bahkan politik. Karena suatu peristilahan pada hakikatnya adalah
melukiskan atau pun mewakili suatu konsep, proses, keadaan, atau sifat yang
khas dari yang dilukiskan atau diwakilinya. Submenu Terminologi memperlihatkan
bagaimana istilah-istilah yang disebutkan tadi bisa digunakan. Dalam bagian ini
juga dapat diperoleh uraian lebih lanjut mengenai relasi antara filsafat, ilmu
dan agama; hal yang tak jarang menjadi bahan persoalan. Di dalam memberikan
rumusan yang pasti tentang apa yang termuat dalam kata "filsafat"
adalah suatu pekerjaan yang terlalu berani dan sombong! Saya ingin mulai dari
sini. Memang, para peminat filsafat, kita sulit mendefinisikan kata yang satu
ini. Bahkan para filsuf (ahli filsafat) pun mengakuinya. Apa yang membuatnya
demikian adalah oleh karena terdapatnya beragam-ragam paham, metode dan tujuan,
yang dianut, ditempuh dan dituju oleh masing-masing filsuf. Namun, sebuah pengertian
awal mesti diberikan; maksudnya sebagai kompas agar kita tidak tersesat arah di
dalam perjalanan memahami filsafat. Mengingat maksud ini, maka pengertian
tersebut haruslah bersifat dapat dipahami sebanyak-banyak orang, sehingga dapat
dijadikan tempat berpijak bersama.
Baiklah kita menilik dahulu kata
"filsafat" ini dari akar katanya, dari mana kata ini datang. Kata
"filsafat" berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philein artinya
cinta, mencintai, philos pecinta, sophia kebijaksanaan atau hikmat. Jadi
filsafat artinya "cinta akan kebijaksanaan". Cinta artinya hasrat
yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan
artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti
hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Demikian arti
filsafat pada mulanya.
Dari arti di atas, kita kemudian
dapat mengerti filsafat secara umum.Filsafat adalah suatu ilmu, meskipun bukan
ilmu vak biasa, yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk
memperoleh kebenaran. Bolehlah filsafat disebut sebagai: suatu usaha untuk
berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya. Hal yang membawa usahanya itu kepada suatu kesimpulan
universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang tersederhana
sampai yang terkompleks. Filsafat, "Ilmu tentang hakikat". Di sinilah
kita memahami perbedaan mendasar antara "filsafat" dan "ilmu
(spesial)" atau "sains". Ilmu membatasi wilayahnya sejauh
alam yang dapat dialami, dapat diindera, atau alam empiris. Ilmu menghadapi
soalnya dengan pertanyaan "bagaimana" dan "apa sebabnya".
Filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan
logis di antara ide-ide dasar (keyakinan, asumsi dan konsep) yang tidak dapat
dipecahkan dengan ilmu empiris.
2. ILMU.
adalah
seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman
manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia, Segi-segi ini dibatasi
agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya. “Allah akan
meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan yang dikaruniahi ilmu” (Al
Mujadilah: 11) Ilmu (Science) haruslah "diusahakan" dengan aktivitas
manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu dan terukur,
dan akhirnya "aktivitas yang bermetode" itu akan mendatangkan
pengetahuan yang sistematis (tahu / mengerti). Kesatuan dan interaksi dari
ketiga komponen yang tersusun menjadi Ilmu (science) dapat dijelaskan dengan
bagan di bawah ini:
Begitu
banyak definisi ilmu yang dikemukakan oleh para pakar (scientist) sesuai latar
belakang masing-masing, namun pendapat Marx dan Hillix secara tepat menegaskan
bahwa ihnu merupakan usaha keseluruhan yang bulat (total enterprise) dari
manusia itu sendiri. Karakteristik dari ilmu haruslah rasional, kuantitatif,
infinite (tidak hingga), atomic (discrete) dan seculer.
Syarat-syarat ilmu
Syarat-syarat ilmu
Berbeda
dengan pengetahuan ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang
mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu
dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak
terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
a)
Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang
terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar
maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada
karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari
adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya
disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau
subjek penunjang penelitian.
b)
Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk
meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran.
Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin
kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang berarti:
cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan
umumnya merujuk pada metode ilmiah.
c)
Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan
menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang
teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh,
menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut
objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab
akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
d)
Universal. Kebenaran
yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak
bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal
merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar
ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam
mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat
universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
3. AGAMA
Dalam kehidupan sehari-hari kita
sering mendengar kata agama. Namun akan sedikit sulit mendefenisikan pengertian
agama itu sendiri. Hal tersebut diakui sendiri oleh Mukti Ali, salah seorang
pakar ilmu perbandingan agama di Indonesia yang mengatakan; “Barangkali tak ada
kata yang paling sulit diberikan pengertian dan defenisi selain dari kata
agama.” Menurut Mukti Ali,
terdapat tiga argumentasi yang dapat dijadikan alasan dalam menanggapi statemen
tersebut. Pertama karena pengalaman agama adalah soal batin dan subjektif.
Kedua barangkali tidak ada orang yang begitu semangat dan emosional daripada
membicarakan agama. Karena itu, membahas arti agama selalu dengan emosi yang
kuat dan yang ketiga konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang
yang memberikan pengertian agama. Adapun pengertian agama dari segi istilah
dapat dikemukakan sebagai berikut. Elizabet K. Nottingham mengatakan bahwa
agama adalah gejala yang begitu sering terdapat dimana-mana sehinnga sedikit
membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Lebih lanjut
Nottingham mangatakan bahwa agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk
mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta.
Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga
perasaan takut dan ngeri. Sementara itu Durkheim mengatakan agama adalah
pantulan dari solidaritas social. Bahkan kalau dikaji katanya Tuhan itu sebenarnya
adalah ciptaan masyarakat Definisi tentang agama sangatlah banyak namun harun
nasution sendiri mendefinisikan agama sebagai berikut :
a)
Pengakuan terhadap
adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
b)
terhadap adanya
kekuatan gaib yang menguasai manusia.
c)
Mengingatkan diri pada suatu bentuk hidup yang
mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang
mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
d)
Kepercayaan pada
suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertntu.
e)
Suatu sistem tingkah
laku yang berasal dari kekuatan gaib.
f)
Pengakuan terhadap
adanya kewajiban-kewajiban yang bersumber pada kekuatan gaib.
g)
Pemujaan terhadap
kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap
kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
h)
Ajaran yang
diwahyukan tuhan melalui seorang manusia melalui seorang rasul.
4.
AGAMA DI MATA TOKOH INTELEKTUALISME
Agama adalah sebuah
fenomena yang dekat dalam kehidupan individu dan masyarakat. Demikian dekatnya,
sehingga agama menjadi perangkat dalam seluruh ritual kehidupan kita. Begitu
juga dengan para ilmuan, mereka tidak penah ketinggalan dalam mengomentari
agama. Mulai dari ilmuan saintis hingga ilmuan lainnya, seperti psikolog,
sosiolog bahkan seniman.
Pembahasan kita kali ini, berkaitan dengan salah
satu pendekatan di antara beberapa pendekatan sosiologi dan antropologi dalam
memahami agama. Pendekatan Intelektualisme adalah sebuah pendekatan yang
mencoba memahami asal mula agama, perubahan agama dan menganalisa penyebab
sebuah agama yang berjalan menuju kepunahan.
Sebelum kami masuk pada inti pembahasan, kami
ingin menjelaskan terlebih dahulu mengenai Intelektualisme itu sendiri.
Intelektualisme[1] yang dimaksud dalam pembahasan ini, adalah sebuah
pendekatan atau teori yang menjelaskan tentang asal mula agama dan gerak
evolusi agama berdasarkan benak atau proses pemikiran manusia. Para sosiolog
dan antropolog Intelektualisme sangat dipengaruhi oleh Intelektualisme filsafat
di abad 17 dan teori Evolusionisme di abad 19. Tokoh-tokoh aliran ini adalah
Bapak sosiolog August Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903) sosiolog
klasik Inggris, Edward Burnett Tylor (1832-1917) dan Sir James George Frazer,
keduanya adalah antropolog klasik Inggris.
Intelektualisme lebih menekankan pada akal dalam
menemukan pengetahuan. Akal yang dimaksud dalam hal ini adalah sebuah
potensi tafakkur dan berfikir, yang meneliti dan menganalisa
fenomena-fenomena yang ada. Oleh sebab itu, kita tidak boleh salah dalam
memahami makna lain dari Intelektualisme yang digunakan dalam terminologi
filsafat atau peristilahan yang lain.
Analisa para ilmuan yang kami sebutkan di atas,
selain memiliki pandangan yang sama, juga memiliki pandangan yang berbeda.
Untuk mengawali pembahasan ini, kami ingin memaparkan terlebih dahulu sisi
kesamaan pandangan-pandangan mereka. Selanjutnya kami juga akan memaparkan sisi
perbedaan sebagian dari mereka.
5. SISI KESAMAAN TEORI SUBSTANSI
AGAMA
Agama memiliki definisi
yang beragam, demikian banyaknya sehingga definisi agama semakin tidak jelas.
Oleh karena itu, ada baiknya jika kita menelusuri pandangan Intelektualisme
tentang definisi agama, juga membantu kita untuk mengetahui apa yang mereka
inginkan dari agama. Di antara tokoh yang ada, Tylor memberikan definisi yang
lebih jelas, Tylor mendefinisikan agama sebagai; kepercayaan kepada wujud-wujud
spiritual. Dalam pandangannya, walaupun agama memiliki banyak perbedaan, namun
mereka semua sama dalam hal ini, bahwa terdapat ruh-ruh di alam ini yang
berfikir, bertindak dan merasakan seperti manusia.
Tokoh lainnya, sedikit
banyaknya sependapat dengan definisi yang diutarakan oleh Tylor, termasuk
Frazer dan Spencer. Namun dalam pandangan August Comte, walaupun ia sepakat
dengan definisi tersebut, akan tetapi ia menganggapnya bahwa definisi tersebut
tidak sempurna.
Comte dengan ciri khas
pemikirannya yang meyakini tiga tahapan dalam evolusi agama, menerima definisi
tersebut sebagai tahapan pertama dalam sebuah agama. Comte melangkah lebih jauh
dari tahapan tersebut, dan menganggap bahwa agama sebagai rangkain
akidah-akidah yang tersebar dalam bagian-bagian masyarakat, dan juga
menganggapnya sebagai faktor koherensi masyarakat. Perhatian Comte pada faktor
tersebut, secara perlahan-lahan menyimpulkan agama pada sisi tersebut. Apa saja
yang menyebabkan koherensi dan menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama.
Agama positivistik yang dibangun oleh Comte, walaupun didalamnya tidak terdapat
kepercayaan terhadap wujud-wujud spiritual, namun menurutnya, agama ini mampu
menyatukan masyarakat. Singkatnya, Comte tetap menerima definisi yang dikemukan
oleh Tylor dalam agama tahapan pertama. Oleh karena itu, bisa kita anggap bahwa
definisi tersebut sebagai titik kesamaan di antara tokoh Intelektualisme,
termasuk Comte.
6. ASAL MULA MUNCULNYA AGAMA
Untuk mengenal lebih
jauh pemikiran Intelektualisme mengenai agama, kita harus mengenal terlebih
dahulu pandangan mereka tentang manusia. Pada saat Rasialisme meyakini
perbedaan mendasar di antara ras-ras yang ada, dan menganggap bahwa antara ras
satu memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada ras lainnya, para petualang
-dengan pemikiran ini- ditimpa kejadian-kejadian yang tragis yang sangat
disesalkan.
Para Intelektualisme
bangkit dan menentang pandangan ini, kemudian meyakini bahwa manusia memiliki
potensi-potensi yang sama. Tylor kemudian memaparkan apa yang disebut
dengan kesatuan psikis, yang menyebabkan manusia memiliki potensi-potensi
spiritual dan pikiran yang sama. Mereka sama dalam berpikir dan bertindak.
Kesamaan-kesamaan yang kita saksikan di antara budaya-budaya diseluruh alam,
bersumber dari kesamaan mendasar dalam benak manusia, karena kebanyakan
budaya-budaya yang ada di berbagai tempat adalah hasil dari kreasi manusia.
Prinsip kesatuan psikis dalam pandangan Intelektualisme,
memberikan sebuah asumsi bahwa agama dalam seluruh ruang dan waktu, selain
perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, juga memiliki fenomena yang sama, bahkan
bersumber dari substansi yang satu.
7. DARI POLITEISME KE MONOTEISME
Dalam pandangan Tylor,
manusia memiliki substansi yang sama. Sebuah eksistensi yang berfikir, yang
senantiasa ingin mengetahui keberadaan di sekitarnya. Manusia primitif berusaha
memahami dan menjelaskan berbagai fenomena-fenomena yang aneh, dan fenomena
suara-suara yang dahsyat, melalui ruang lingkup pemikirannya, bahkan berusaha
membangun alur-alur pemikirannya. Tentunya, pengetahuan yang mereka maksudkan
bukan sekedar menyaksikan suatu fenomena yang aneh atau mendengarkan suara yang
dahsyat, tapi pengetahuan dihasilkan ketika hal tersebut menjadi sebuah bingkai
universal atau telah menjadi pandangan dunia yang khas, misalnya; sekedar
mendengar petir tidak bisa disebut sebagai pengetahuan, tapi mendengar petir
dan meyakininya sebagai murka Tuhan disebut sebagai pengetahuan.
Comte meyakini juga bahwa
pengetahuan seperti ini dihasilkan pada tahapan pertama agama, yaitu pada
tahapan teologi, karena manusia pada saat itu senantiasa berfikir secara
sederhana, dan dengan pandangan teologi langsung dapat memberikan sebuah
jawaban, walaupun jawaban tersebut dalam bentuk sederhana.
Manusia tidak begitu
mengetahui tentang hakikat dirinya dan juga sekitarnya, akan tetapi ia
senantiasa untuk mencoba mengetahuinya. Oleh karena itu, ia harus beranjak dari
sebuah titik, dimana pengetahuannya terhadap hal tersebut melebihi dari yang
lainnya. Jelas, tidak ada yang lebih jelas dari
segalanya kecuali diri itu sendiri. Jika demikian, apakah yang diketahui
manusia tentang dirinya sehingga dari pengetahuan tersebut ia bisa generalkan
pada yang lainnya?
Dari
pengalaman-pengalaman yang manusia dapatkan di antara hidup dan mati, di antara
tidur dan sadar, ia kemudian membedakan adanya dua keberadaan yang berbeda;
yaitu ruh dan badan atau jiwa dan materi. Ketika manusia primitif memperhatikan
mimpinya akan seseorang yang berada di tempat yang sangat jauh, atau
memperhatikan antara orang hidup dan orang mati, ia kemudian mengambil
kesimpulan bahwa manusia memiliki dua substansi, dimana kedua hal tersebut
berada dalam dirinya. Ketika manusia tidur dan jiwanya berpisah dari badannya,
ia dapat berkunjung ke tempat yang jauh dan dalam tempo yang sangat singkat.
Badan bisa dianggap hidup jika jiwa tersebut berada bersamanya, dan kapan saja
jiwa berpisah dari badannya maka badan tersebut tidak memiliki aktivitas sama
sekali, jiwalah yang merupakan sumber kehidupan dan aktivitas manusia.
Comte
menyebut pandangan ini dengan Fetishisme yang merupakan tahap pertama dari
sebuah agama, dan Tylor menyebut pandangan ini dengan Animisme.
Dalam pandangan Tylor,
benak manusia senantiasa memiliki kecendrungan untuk menggeneralisasikan
sesuatu. Kapan saja manusia mengetahui sifat-sifat dari sesuatu, ketika ia
menemukan sesuatu yang mirip dengan sesuatu tersebut, maka sifat-sifat tersebut
ia generalkan padanya. Manusia primitif yang meyakini bahwa manusia memiliki
dua aspek, maka dengan kecenderungan benaknya untuk menggeneralisasikan
sesuatu, maka keyakinannya akan dua aspek tersebut ia generalkan pada hal-hal
yang alami, dan meyakini bahwa hal-hal tersebut memiliki jiwa yang merupakan sumber
dari aktivitas-aktivitasnya. Ruh yang dimilikinya persis sama dengan ruh
manusia yang memiliki sifat seperti; iradah dan niat dan lain-lain. Lambat laun
manusia primitif menganggap bahwa segalanya memiliki ruh, segala fenomena yang
ia saksikan dan yang ia dengar, mereka nisbahkan pada ruh, artinya dengan hal
ini, manusia primitif dapat menafsirkan fenomena-fenomena yang ada
disekitarnya-seperti banjir, gempa dan lainnya-dengan pandangan tersebut.
Setelah
fenomena-fenomena tersebut ia nisbahkan pada ruh, untuk sampai pada
tujuan-tujuan yang diinginkannya, mereka kemudian berfikir cara untuk bisa
mempengaruhi fenomena tersebut, dengan jalan berhubungan dengan ruh-ruh yang
menggerakkan dan mendatangkan fenomena tersebut. Benak manusia primitif tidak
cukup sampai disini saja, benak mereka menggeneralisasi pada tempat yang lain,
bahwa sebelumnya ia meyakini bahwa tiap fenomena memiliki ruh tertentu, namun
kemudian untuk fenomena-fenomena yang memiliki kemiripan, ia yakini memiliki
satu ruh yang sama, misalnya sebelumnya ia meyakini bahwa setiap pohon
beringin, masing-masing memiliki ruh yang berbeda-beda, namun kemudian ia
meyakini bahwa seluruh pohon beringin hanya memiliki satu ruh, karena semua
pohon beringin memiliki karakter yang sama, lebih dari itu, karena semua pohon
memiliki karakter yang sama, maka seluruh pohon hanya memiliki satu ruh. Dari
sinilah awal mula pemahaman tentang Tuhan-Tuhan, ibadah dan penyembahan yang
ada dalam agama.
Selanjutnya, manusia
primitif meyakini bahwa di antara ruh-ruh, ada yang memiliki kekuasaan yang
lebih di antara ruh-ruh yang lain. Oleh karena itu, manusia primitif terpaksa
menyembah Tuhan yang banyak, untuk sampai pada tujuan yang diinginkannya,
misalnya; ketika musim kemarau datang, maka mereka menyembah Tuhan hujan,
ketika musim serangga datang, mereka menyembah Tuhan pembasmi, begitu juga
dengan fenomena-fenomena lainnya. Tahapan ini disebut dengan Politeisme.
Tylor kemudian
menambahkan bahwa benak manusia tidak berhenti pada tahapan tersebut, namun
sebagaimana sebelumnya dari tahapan Animisme menuju Politeisme, dan dari
Politeisme menuju Monoteisme. Dalam tahapan Monoteisme, mereka hanya menyembah
satu Tuhan, yang menguasai seluruh keberadaan.
Sekarang kita mengetahui
bersama bahwa Intelektualisme menganggap agama sebagai jawaban dari kebutuhan
pengetahuan manusia. Menurut pandangan ini, agama adalah produk manusia
primitif-mengutip kata Tylor; produk filosof liar - dalam menjelaskan fenomena
sekitarnya. Akan tetapi pengetahuan ini, tidak berhenti pada tahap pertama
saja, namun ia bergerak dari Anisme ke Politeisme dan kemudian ke Monoteisme,
sesuai dengan kecendrungan evolusi benak manusia.
8. AGAMA, SEBUAH TAHAPAN EVOLUSI
PEMIKIRAN MANUSIA
Para pemikir yang kami
angkat dalam kesempatan ini, sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran
Evolusionisme abad 19, mereka menganggap bahwa perubahan-perubahan internal
agama disebabkan oleh sebuah proses yang berevolusi, agama adalah salah satu
tahapan dari beberapa tahapan evolusi manusia, yang bersandar pada evolusi alam
mental atau akal manusia. Para pemikir di atas sepakat bahwa sejarah manusia
bergerak menuju kesempurnaan, yang dimulai dari titik yang paling sederhana,
hingga ke titik yang paling puncak, dan para pemikir ini sepakat bahwa faktor
dan penyebab evolusi ini adalah akal dan benak manusia, akan tetapi para
pemikir ini berbeda dalam mengambil sumber dan informasi. Masing-masing dari
pemikir ini berbeda dalam menyebutkan tahapan-tahapan evolusi agama. Oleh sebab
itu, ada baiknya jika kami kemukakan pandangan mereka secara singkat.
August Comte meyakini
ada tiga tahapan dalam proses evolusi sejarah manusia; pertama, tahapan
teologi. Menurutnya, dalam tahapan ini, masyarakat memiliki keyakinan bahwa di
balik fenomena-fenomena alam ini, dikontrol oleh suatu keberadaan metafisik.
Tahapan ini memiliki tiga cabang; cabang pertama disebut dengan Fetishisme.
Manusia dalam tahapan Fetishisme ini meyakini bahwa segala
fenomena alam-seperti dirinya-memiliki ruh atau jiwa, yang menggerakkan
fenomena-fenomena tersebut. Cabang kedua adalah Politeisme, dalam tahapan ini
mereka tidak berbicara mengenai ruh, namun meyakini akan keberadaan Tuhan-Tuhan
yang mengontrol dan mengaturnya. Tuhan-Tuhan ini menguasai segalanya termasuk
manusia, oleh karena itu, manusia mengadakan ritual dan penyembahan untuk
meminta keridhaan tuhan-tuhan tersebut.
Penyembahan ini bagi
mereka memiliki peranan yang sangat besar, sehingga mereka memilih tokoh
spiritual tertentu sebagai penghubung antara dia dan tuhan-tuhan mereka, dan
juga berfungsi untuk mengajarkan bagaimana menyembah yang benar. Cabang ketiga
adalah Monoteisme, dalam tahapan ini manusia tidak lagi menyembah beberapa
Tuhan, tapi hanya menyembah satu Tuhan, yang menguasai segalanya.
Tahapan kedua adalah
tahapan filosofis, dalam tahapan ini manusia dalam menjustifikasi sesuatu tidak
lagi berdasarkan pada kekuatan metafisik, tapi bersandar pada substansi sesuatu
itu sendiri.
Tahapan ketiga adalah
tahapan Positivisme. Dalam tahapan ini manusia tidak lagi menggunakan dua
metode sebelumnya, tapi ia mulai mengobservasi fenomena tersebut, dan mencoba
menentukan hubungan-hubungan yang teratur diantaranya. Comte meyakini bahwa
fakultas-fakultas pengetahuan yang memiliki kerumitan tertentu akan sampai pada
tahapan ini.
Tylor dan Frazer
meyakini bahwa ketiga tahapan tersebut adalah magic, agama dan ilmu. Dalam
pandangan mereka, aktvitas magic dilakukan berdasarkan prinsip analogi dan
asosiasi. Frazer meyakini akan dua jenis magic, pertama; sebuah magic yang
dilakukan berdasarkan kemiripan sesuatu, yaitu dengan melihat adanya kemiripan
di antara dua obyek, obyek yang satu dapat mempengaruhi obyek yang lain, dengan
mengoperasikan teknik-teknik magic tertentu pada salah satu obyek tersebut, misalnya
untuk melukai seseorang, cukup dengan membuat patung atau boneka yang mirip
dengan orang tersebut, dan kemudian ia tusukkan jarum pada boneka tersebut.
Jenis kedua adalah magic menjalar, yang dapat dioperasikan dengan sentuhan
tertentu atau menularkannya. Misalnya; jika kita mendapatkan salah satu bagian
dari bekas anggota tubuh seseorang, seperti kuku dan rambut, kita dapat
menyihir orang tersebut.
Setelah tahapan magic,
selanjutnya masuk dalam tahapan agama. Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya
bahwa dalam tahapan agama, mereka menjelaskan fenomena-fenomena alami dengan
menyandarkannya pada ruh-ruh dan Tuhan-Tuhan. Untuk mempengaruhi seseorang
mereka tidak menggunakan magic lagi, tapi cukup dengan bermunajat pada ruh-ruh
atau Tuhan-Tuhan. Tahapan selanjutnya adalah tahapan ilmu, menurut
Frazer, pengetahuan manusia pada fenomena-fenomena alam semakin hari akan
semakin bertambah, penjelasan agama tidak lagi memuaskan seseorang dalam
menjelaskan fenomena tersebut, manusia lebih menyandarkan pengetahuannya pada
penemuan-penemuan ilmiah mereka. Dalam tahapan ini manusia sama sekali tidak
butuh kekuatan metafisik, yang mereka gunakan adalah metode-metode
eksperimentasi, dalam menemukan sebab-sebab dan factor-faktor fenomena
tersebut.
Sebagaimana yang Anda
perhatikan, teori Intelektualisme melirik agama sebagai sebuah metode dan
pengetahuan dalam menjelaskan dunia, yang diawali dalam tahapan tertentu dari
perkembangan pemikiran manusia. Oleh karena itu, karena pengetahuan manusia
terhadap fenomena tersebut semakin hari sekamin bertambah, maka kebutuhan dia
pada agama akan semakin berkurang, bahkan suatu saat nanti dia tidak
membutuhkannya sama sekali.
Pertanyaan selanjutnya;
apakah agama hanyalah sebuah tahapan dari sebuah pemikiran manusia, yang hilang
secara tiba-tiba dan digantikan oleh ilmu dan metode ilmiah, ataukah
perpindahan tahapan beranjak secara perlahan-lahan? Dengan kata lain, setelah
tahapan selajutnya siap untuk menggantikan tahapan sebelumnya, apakah tahapan
sebelumnya sirna sama sekali, ataukah terdapat unsur-unsur yang masih menetap
dan bercampur dengan tahapan salanjutnya? Dalam menjawab pertanyaan ini, para
analis Intelektualisme sepakat bahwa terdapat unsur-unsur dalam tahapan
sebelumnya yang masih bertahan dalam tahapan selanjutnya, bahkan sampai waktu
yang sangat panjang, yang disebabkan oleh faktor efisiensi. Tylor menggunakan
pemahaman survivals dalam menjelaskan unsur yang tetap
bertahan tersebut.
Dalam pandangan
Tylor, budaya yang berbeda-beda dan juga bagian dari sebuah budaya, semuanya
tidak menyempurna secara bersamaan. Secara umum, sebagian dari bagian sebuah
budaya tertentu, dimana dalam sebuah masa tertentu memiliki efisiensi yang
baik, akan memungkinkan bagian sebuah budaya tersebut masih tetap bertahan
walapun bagian lainnya telah mengalami perubahan, misalnya pada zaman dahulu,
untuk berburu cukup dengan menggunakan panah dan busur, namun para pemburu
modern tidak lagi menggunakan alat tersebut, mereka lebih memilih senjata dalam
berburu, namun panah dan busur masih tetap terpelihara hingga saat ini,
disebabkan karena memanah dilihat sebagai sebuah kemahiran dalam sebuah olah
raga atau sebagai interaksi. Comte juga menerima adanya unsur-unsur dalam
berbagai tahapan yang satu sama lain saling bercampur, namun Comte lebih banyak
memperhatikan pada sisi sosialnya. Dalam pandangan Comte, ketiga tahapan alam
mental manusia, akan menghasilkan keharmonisan dan kesatuan dalam sistem
masyarakat, namun ketika unsur-unsur tersebut satu sama lain telah bercampur,
akan menimbulkan problema dalam sistem masyarakat. Comte juga meyakini bahwa
krisis yang melanda era modern disebabkan oleh hadirnya ketiga tahapan unsur
tersebut secara bersamaan.
9. PANDANGAN KHAS AUGUST COMTE
August Comte adalah
pendiri mazhab Positivisme, dia menginginkan seluruh fenomena-fenomena sosial
dianalisa dan diobservasi, sama seperti kita mengobservasi dan menganalisa
fenomena-fenomena alam. Selain pandangan di atas, Comte juga menerima pandangan
lain yang disebut sebagai Fungsionalisme, yang menyelidiki fenomena-fenomena
sosial berdasarkan fungsi-fungsinya. Selain kedua pandangan
di atas, Comte juga menerima pandangan Evolusionisme, dan dengan ketiga
pandangan tersebut ia mencoba meneliti dan menganalisa masyarakat.
Comte
meyakini bahwa faktor mendasar sebuah perubahan dalam masyarakat adalah
pengetahuan, dan tahapan-tahapan evolusi masyarakat dan pengkategorian
pengetahuan merupakan titik fokus bangunan pemikirannya. Sekarang kita akan
mencoba meringkas pandangannya mengenai agama.
a)
Comte meyakini bahwa
agama muncul dari sebuah tahapan tertentu dari sejarah manusia. Di sisi lain
Comte meyakini bahwa masyarakat selamanya butuh pada agama, artinya bahwa dari
satu sisi agama terancam kepunahan, karena agama berhubungan pada masa dahulu,
dan sebab itu agama harus digantikan dengan sesuatu yang sesuai dengan masa
kekinian. Di sisi lain masyarakat butuh pada sebuah sistem yang dapat
menyatukan mereka, sebuah ide-ide umum dan universal, yang hanya dapat diberikan
oleh agama. Secara sepintas kita melihat adanya paradoks dalam pandangan Comte,
namun Comte lebih jeli untuk bisa keluar dari lingkaran paradoks tersebut. Jika
kita lebih teliti pada uraian-uraian yang dipersembahkan oleh Comte, kita akan
menemukan bahwa agama yang mengalami kepunahan adalah sebuah agama yang berada
dalam tahapan pertama evolusi manusia, yang mana pemikiran yang mendominasi
dalam pandangan tersebut adalah sebuah pemikiran metafisik, yang menyerahkan
seluruh fenomena pada Tuhan-Tuhan dan ruh-ruh. Namun dalam pandangan Comte,
agama tidak terbatasi pada apa yang mendominasi dalam pemikiran tahapan
pertama, bahkan dalam pandangan Comte, apa saja yang membuat keharmonisan dan
dapat menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama. Oleh karena itu, dalam
pandangan Comte, walaupun masyarakat modern butuh pada agama, namun agamanya
haruslah dalam ruang lingkup ilmu, positivistik dan sesuai dengan masyarakat
modern.
b)
Walaupun unsur
pengetahuan agama dalam perubahan agama memiliki peranan yang sangat penting,
namun Comte tidak melupakan faktor sosiologi mengenai pranata-pranata sosial.
Menurut Comte; setiap tahapan-tahapan perubahan alam mental manusia,
berkaitan erat dengan sebuah institusi sosial dan dominasi politik tertentu
yang ia ciptakan. Tahapan teologi dibawah dominasi para tokoh spiritual dan
dikomandoi oleh pria-pria militer . . . tahapan metafisika, berada pada masa
abad pertengahan dan renasains, yang didominasi oleh para pastor dan hakim.
Tahapan ketiga yang baru saja dimulai, di bawah dominasi para manager-manager
industri dan diarahkan oleh etika para ilmuan.
(Tsulasi,2014 :30) Artinya bahwa setiap tahapan
dari evolusi pemikiran masyarakat, menciptakan sebuah institusi sosial yang
sesuai dengan tahapan tersebut. Oleh karena itu, jika terdapat dua atau
beberapa institusi yang hadir dalam masyarakat yang satu, mungkin saja akan
menyebabkan sebuah krisis dalam masyarakat. Comte meyakini bahwa krisis sosial
yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh bercampurnya system-sistem
pemikiran klasik dan modern.
c)
Sebagaimana yang Anda
perhatikan bahwa dalam pandangan Intelektualisme, seluruh perhatian ia kerahkan
pada pikiran dan pemikiran, instrumen perasaan hampir jarang disentuh, boleh
dikata mereka telah melupakannya sama sekali. Pandangan ini bisa kita benarkan
jika kita melihat analisis Comte mengenai agama, namun dalam beberapa hal,
Comte sempat mengisyaratkan beberapa hal mengenai hal tersebut, bahwa salah
satu kebutuhan manusia adalah cinta kepada sebuah eksistensi yang lebih mulia
darinya, dan kebutuhan ini hanya bisa dipenuhi oleh agama, bahkan ketika
manusia masuk dalam agama modern, manusia tetap tidak melupakan kebutuhan
kemanusiaan ini. Kata Comte; manusia bisa saja letih dari bekerja dan berfikir,
namun ia tidak akan pernah lelah dari cinta (parhom,2014 :118). Dalam
pandangan Comte, agama memiliki tiga dimensi. Pertama; dimensi akal, yaitu
kepercayaan pada dogmatis agama. Kedua; dimensi perasaan yang menjelma dalam
bentuk ibadah dan penyembahan. Ketiga; dimensi praktik, Comte menyebutnya
dengan disiplin.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhsin Tsulasi, Kehidupan dan
Pemikiran para Pembesar Sosilogi; hal. 30. Dalam: http://www.al-shia.org/html/id/page.php?id=609,
dikutip: 28, September 2014
Baqir Parhom, Tahapan pemikiran
dalam sosiologi; Raymon; hal 118. Dalam: http://www.al-shia.org/html/id/page.php?id=609,
dikutip: 28, September 2014
Anonim,
2014: Filsafat ilmu, dalam: https://www.facebook.com/permalink.php?id=136518356497108&story_fbid=155300844618859,
dikutip: 28, September 2014
0 komentar:
Posting Komentar