Minggu, 12 Oktober 2014

Filsafat Agama


ADA DAN PENGADA
Mata Kuliah Filsafat Agama
PENDAHULUAN
Ilmu Sejarah telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa Yunani ditakdirkan Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi mereka ilmu itu adalah suatu keterangan rasional tentang sebab-musabab dari segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos yang teratur dengan aturan kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang menguasai ilmu orang Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan rasional. Pada hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magi dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional.  Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala sesuatu.

Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu ‘Causa Prima’ dari pada segala yang ada, bahwa dalam hal ini yaitu Allah Maha Pencipta, Maha Besar, dan mengetahui. Oleh karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah mahluk pencari kebenaran. Dengan demikian Di dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya. Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul. Manusia ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan pengetahuan yang luas sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan kedalam berbagai disiplin keilmuwan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada ribuan tahun yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti antara lain: tentang asal mula dan tujuan manusia, tentang hidup dan mati, tentang hakikat manusia sebagainya. Ketidak mampuan Ilmu pengetahuan dalam menjawab sejumlah pertanyaan itu, maka Filasafat tempat menampung dan mengelolahnya. Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian manusia. Yang melatar belakang belakangi Penulis mengambil tema “Fisafat Ilmu dan Agama” dari mata kuliah Filsafat Ilmu adalah merupakan kajian dari pengembangan pada penerapan sistem yang erat kaitanya dengan Manusia dengan transendennya dapat mengatasi struktur alam jasmani, dengan budinya dapat mengembangkan ilmu pengetahuannya. Manusia dengan ilmu pengetahuannya mencari bukti-bukti sebagai evidensi untuk mendapatkan kebenaran. Hanya dengan ilmu pengetahuanlah manusia mendapatkan kebenaran,namun karena sifat tidak puas yang ada pada manusia, maka manusia selalu mencari kebenaran.
A.    FISAFAT ILMU DAN AGAMA
Dalam perspektif falâsifah, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan secara bebas; dan agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas tampak dari perkataan dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah yang digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari filsafat adalah millah; bukan dîn. Ini menunjukkan kehendak Al-Fârâbî membedakan filsafat secara kontras tidak dengan tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah daripada dîn. Millah lebih tepat karena dia mengacu pada komunitas religius di bawah sanksi ilahi dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau perintah-perintah hukum moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik komunitas religius ini.
1. FILSAFAT.
Kata-kata "filsafat", "filosofi", "filosofis", "filsuf", "falsafi" bertebaran di sekeliling kita. Apakah pemakaiannya dalam kalimat-kalimat sudah tepat atau sesuai dengan arti yang dimilikinya, kita acapkali tidak merisaukan hal itu, mungkin karena kita sendiri juga kurang paham dan belum berkesempatan memeriksa beberapa literatur atau pun bertanya kepada mereka yang berkompeten menjelaskan hal itu. Sementara itu, kita mengerti bahwa beberapa peristilahan ada karena memiliki latar belakang yang unik.
Suatu peristilahan perlu dipahami konteks-nya untuk memperoleh kejelasan maknanya, baik itu konteks sosial, budaya bahkan politik. Karena suatu peristilahan pada hakikatnya adalah melukiskan atau pun mewakili suatu konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dari yang dilukiskan atau diwakilinya. Submenu Terminologi memperlihatkan bagaimana istilah-istilah yang disebutkan tadi bisa digunakan. Dalam bagian ini juga dapat diperoleh uraian lebih lanjut mengenai relasi antara filsafat, ilmu dan agama; hal yang tak jarang menjadi bahan persoalan. Di dalam memberikan rumusan yang pasti tentang apa yang termuat dalam kata "filsafat" adalah suatu pekerjaan yang terlalu berani dan sombong! Saya ingin mulai dari sini. Memang, para peminat filsafat, kita sulit mendefinisikan kata yang satu ini. Bahkan para filsuf (ahli filsafat) pun mengakuinya. Apa yang membuatnya demikian adalah oleh karena terdapatnya beragam-ragam paham, metode dan tujuan, yang dianut, ditempuh dan dituju oleh masing-masing filsuf. Namun, sebuah pengertian awal mesti diberikan; maksudnya sebagai kompas agar kita tidak tersesat arah di dalam perjalanan memahami filsafat. Mengingat maksud ini, maka pengertian tersebut haruslah bersifat dapat dipahami sebanyak-banyak orang, sehingga dapat dijadikan tempat berpijak bersama.
Baiklah kita menilik dahulu kata "filsafat" ini dari akar katanya, dari mana kata ini datang. Kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philein artinya cinta, mencintai, philos pecinta, sophia kebijaksanaan atau hikmat. Jadi filsafat artinya "cinta akan kebijaksanaan". Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Demikian arti filsafat pada mulanya.
Dari arti di atas, kita kemudian dapat mengerti filsafat secara umum.Filsafat adalah suatu ilmu, meskipun bukan ilmu vak biasa, yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Bolehlah filsafat disebut sebagai: suatu usaha untuk berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Hal yang membawa usahanya itu kepada suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang tersederhana sampai yang terkompleks. Filsafat, "Ilmu tentang hakikat". Di sinilah kita memahami perbedaan mendasar antara "filsafat" dan "ilmu (spesial)" atau "sains". Ilmu membatasi wilayahnya sejauh alam yang dapat dialami, dapat diindera, atau alam empiris. Ilmu menghadapi soalnya dengan pertanyaan "bagaimana" dan "apa sebabnya". Filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar (keyakinan, asumsi dan konsep) yang tidak dapat dipecahkan dengan ilmu empiris.
2. ILMU.
adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia, Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.  “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan yang dikaruniahi ilmu” (Al Mujadilah: 11) Ilmu (Science) haruslah "diusahakan" dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu dan terukur, dan akhirnya "aktivitas yang bermetode" itu akan mendatangkan pengetahuan yang sistematis (tahu / mengerti). Kesatuan dan interaksi dari ketiga komponen yang tersusun menjadi Ilmu (science) dapat dijelaskan dengan bagan di bawah ini:
Begitu banyak definisi ilmu yang dikemukakan oleh para pakar (scientist) sesuai latar belakang masing-masing, namun pendapat Marx dan Hillix secara tepat menegaskan bahwa ihnu merupakan usaha keseluruhan yang bulat (total enterprise) dari manusia itu sendiri. Karakteristik dari ilmu haruslah rasional, kuantitatif, infinite (tidak hingga), atomic (discrete) dan seculer. 
Syarat-syarat ilmu
Berbeda dengan pengetahuan ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
a)      Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
b)      Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
c)      Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
d)     Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
3. AGAMA
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata agama. Namun akan sedikit sulit mendefenisikan pengertian agama itu sendiri. Hal tersebut diakui sendiri oleh Mukti Ali, salah seorang pakar ilmu perbandingan agama di Indonesia yang mengatakan; “Barangkali tak ada kata yang paling sulit diberikan pengertian dan defenisi selain dari kata agama.”  Menurut Mukti Ali, terdapat tiga argumentasi yang dapat dijadikan alasan dalam menanggapi statemen tersebut. Pertama karena pengalaman agama adalah soal batin dan subjektif. Kedua barangkali tidak ada orang yang begitu semangat dan emosional daripada membicarakan agama. Karena itu, membahas arti agama selalu dengan emosi yang kuat dan yang ketiga konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama. Adapun pengertian agama dari segi istilah dapat dikemukakan sebagai berikut. Elizabet K. Nottingham mengatakan bahwa agama adalah gejala yang begitu sering terdapat dimana-mana sehinnga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Lebih lanjut Nottingham mangatakan bahwa agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri. Sementara itu Durkheim mengatakan agama adalah pantulan dari solidaritas social. Bahkan kalau dikaji katanya Tuhan itu sebenarnya adalah ciptaan masyarakat Definisi tentang agama sangatlah banyak namun harun nasution sendiri mendefinisikan agama sebagai berikut : 
a)      Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
b)      terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
c)       Mengingatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
d)     Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertntu.
e)      Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
f)       Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang bersumber pada kekuatan gaib.
g)      Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
h)      Ajaran yang diwahyukan tuhan melalui seorang manusia melalui seorang rasul.
4. AGAMA DI MATA TOKOH INTELEKTUALISME
Agama adalah sebuah fenomena yang dekat dalam kehidupan individu dan masyarakat. Demikian dekatnya, sehingga agama menjadi perangkat dalam seluruh ritual kehidupan kita. Begitu juga dengan para ilmuan, mereka tidak penah ketinggalan dalam mengomentari agama. Mulai dari ilmuan saintis hingga ilmuan lainnya, seperti psikolog, sosiolog bahkan seniman.
Pembahasan kita kali ini, berkaitan dengan salah satu pendekatan di antara beberapa pendekatan sosiologi dan antropologi dalam memahami agama. Pendekatan Intelektualisme adalah sebuah pendekatan yang mencoba memahami asal mula agama, perubahan agama dan menganalisa penyebab sebuah agama yang berjalan menuju kepunahan.
Sebelum kami masuk pada inti pembahasan, kami ingin menjelaskan terlebih dahulu mengenai Intelektualisme itu sendiri. Intelektualisme[1] yang dimaksud dalam pembahasan ini, adalah sebuah pendekatan atau teori yang menjelaskan tentang asal mula agama dan gerak evolusi agama berdasarkan benak atau proses pemikiran manusia. Para sosiolog dan antropolog Intelektualisme sangat dipengaruhi oleh Intelektualisme filsafat di abad 17 dan teori Evolusionisme di abad 19. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Bapak sosiolog August Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903) sosiolog klasik Inggris, Edward Burnett Tylor (1832-1917) dan Sir James George Frazer, keduanya adalah antropolog klasik Inggris.
Intelektualisme lebih menekankan pada akal dalam menemukan pengetahuan. Akal yang dimaksud dalam hal ini adalah sebuah potensi tafakkur dan berfikir, yang meneliti dan menganalisa fenomena-fenomena yang ada. Oleh sebab itu, kita tidak boleh salah dalam memahami makna lain dari Intelektualisme yang digunakan dalam terminologi filsafat atau peristilahan yang lain.
Analisa para ilmuan yang kami sebutkan di atas, selain memiliki pandangan yang sama, juga memiliki pandangan yang berbeda. Untuk mengawali pembahasan ini, kami ingin memaparkan terlebih dahulu sisi kesamaan pandangan-pandangan mereka. Selanjutnya kami juga akan memaparkan sisi perbedaan sebagian dari mereka.
5. SISI KESAMAAN TEORI SUBSTANSI AGAMA
Agama memiliki definisi yang beragam, demikian banyaknya sehingga definisi agama semakin tidak jelas. Oleh karena itu, ada baiknya jika kita menelusuri pandangan Intelektualisme tentang definisi agama, juga membantu kita untuk mengetahui apa yang mereka inginkan dari agama. Di antara tokoh yang ada, Tylor memberikan definisi yang lebih jelas, Tylor mendefinisikan agama sebagai; kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual. Dalam pandangannya, walaupun agama memiliki banyak perbedaan, namun mereka semua sama dalam hal ini, bahwa terdapat ruh-ruh di alam ini yang berfikir, bertindak dan merasakan seperti manusia.
Tokoh lainnya, sedikit banyaknya sependapat dengan definisi yang diutarakan oleh Tylor, termasuk Frazer dan Spencer. Namun dalam pandangan August Comte, walaupun ia sepakat dengan definisi tersebut, akan tetapi ia menganggapnya bahwa definisi tersebut tidak sempurna.
Comte dengan ciri khas pemikirannya yang meyakini tiga tahapan dalam evolusi agama, menerima definisi tersebut sebagai tahapan pertama dalam sebuah agama. Comte melangkah lebih jauh dari tahapan tersebut, dan menganggap bahwa agama sebagai rangkain akidah-akidah yang tersebar dalam bagian-bagian masyarakat, dan juga menganggapnya sebagai faktor koherensi masyarakat. Perhatian Comte pada faktor tersebut, secara perlahan-lahan menyimpulkan agama pada sisi tersebut. Apa saja yang menyebabkan koherensi dan menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama. Agama positivistik yang dibangun oleh Comte, walaupun didalamnya tidak terdapat kepercayaan terhadap wujud-wujud spiritual, namun menurutnya, agama ini mampu menyatukan masyarakat. Singkatnya, Comte tetap menerima definisi yang dikemukan oleh Tylor dalam agama tahapan pertama. Oleh karena itu, bisa kita anggap bahwa definisi tersebut sebagai titik kesamaan di antara tokoh Intelektualisme, termasuk Comte.
6. ASAL MULA MUNCULNYA AGAMA
Untuk mengenal lebih jauh pemikiran Intelektualisme mengenai agama, kita harus mengenal terlebih dahulu pandangan mereka tentang manusia. Pada saat Rasialisme meyakini perbedaan mendasar di antara ras-ras yang ada, dan menganggap bahwa antara ras satu memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada ras lainnya, para petualang -dengan pemikiran ini- ditimpa kejadian-kejadian yang tragis yang sangat disesalkan.
Para Intelektualisme bangkit dan menentang pandangan ini, kemudian meyakini bahwa manusia memiliki potensi-potensi yang sama. Tylor kemudian memaparkan apa yang disebut dengan kesatuan psikis, yang menyebabkan manusia memiliki potensi-potensi spiritual dan pikiran yang sama. Mereka sama dalam berpikir dan bertindak. Kesamaan-kesamaan yang kita saksikan di antara budaya-budaya diseluruh alam, bersumber dari kesamaan mendasar dalam benak manusia, karena kebanyakan budaya-budaya yang ada di berbagai tempat adalah hasil dari kreasi manusia. Prinsip kesatuan psikis dalam pandangan Intelektualisme, memberikan sebuah asumsi bahwa agama dalam seluruh ruang dan waktu, selain perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, juga memiliki fenomena yang sama, bahkan bersumber dari substansi yang satu.
7. DARI POLITEISME KE MONOTEISME
Dalam pandangan Tylor, manusia memiliki substansi yang sama. Sebuah eksistensi yang berfikir, yang senantiasa ingin mengetahui keberadaan di sekitarnya. Manusia primitif berusaha memahami dan menjelaskan berbagai fenomena-fenomena yang aneh, dan fenomena suara-suara yang dahsyat, melalui ruang lingkup pemikirannya, bahkan berusaha membangun alur-alur pemikirannya. Tentunya, pengetahuan yang mereka maksudkan bukan sekedar menyaksikan suatu fenomena yang aneh atau mendengarkan suara yang dahsyat, tapi pengetahuan dihasilkan ketika hal tersebut menjadi sebuah bingkai universal atau telah menjadi pandangan dunia yang khas, misalnya; sekedar mendengar petir tidak bisa disebut sebagai pengetahuan, tapi mendengar petir dan meyakininya sebagai murka Tuhan disebut sebagai pengetahuan.
Comte meyakini juga bahwa pengetahuan seperti ini dihasilkan pada tahapan pertama agama, yaitu pada tahapan teologi, karena manusia pada saat itu senantiasa berfikir secara sederhana, dan dengan pandangan teologi langsung dapat memberikan sebuah jawaban, walaupun jawaban tersebut dalam bentuk sederhana.
Manusia tidak begitu mengetahui tentang hakikat dirinya dan juga sekitarnya, akan tetapi ia senantiasa untuk mencoba mengetahuinya. Oleh karena itu, ia harus beranjak dari sebuah titik, dimana pengetahuannya terhadap hal tersebut melebihi dari yang lainnya. Jelas, tidak ada yang lebih jelas dari segalanya kecuali diri itu sendiri. Jika demikian, apakah yang diketahui manusia tentang dirinya sehingga dari pengetahuan tersebut ia bisa generalkan pada yang lainnya?
Dari pengalaman-pengalaman yang manusia dapatkan di antara hidup dan mati, di antara tidur dan sadar, ia kemudian membedakan adanya dua keberadaan yang berbeda; yaitu ruh dan badan atau jiwa dan materi. Ketika manusia primitif memperhatikan mimpinya akan seseorang yang berada di tempat yang sangat jauh, atau memperhatikan antara orang hidup dan orang mati, ia kemudian mengambil kesimpulan bahwa manusia memiliki dua substansi, dimana kedua hal tersebut berada dalam dirinya. Ketika manusia tidur dan jiwanya berpisah dari badannya, ia dapat berkunjung ke tempat yang jauh dan dalam tempo yang sangat singkat. Badan bisa dianggap hidup jika jiwa tersebut berada bersamanya, dan kapan saja jiwa berpisah dari badannya maka badan tersebut tidak memiliki aktivitas sama sekali, jiwalah yang merupakan sumber kehidupan dan aktivitas manusia.
Comte menyebut pandangan ini dengan Fetishisme  yang merupakan tahap pertama dari sebuah agama, dan Tylor menyebut pandangan ini dengan Animisme.
Dalam pandangan Tylor, benak manusia senantiasa memiliki kecendrungan untuk menggeneralisasikan sesuatu. Kapan saja manusia mengetahui sifat-sifat dari sesuatu, ketika ia menemukan sesuatu yang mirip dengan sesuatu tersebut, maka sifat-sifat tersebut ia generalkan padanya. Manusia primitif yang meyakini bahwa manusia memiliki dua aspek, maka dengan kecenderungan benaknya untuk menggeneralisasikan sesuatu, maka keyakinannya akan dua aspek tersebut ia generalkan pada hal-hal yang alami, dan meyakini bahwa hal-hal tersebut memiliki jiwa yang merupakan sumber dari aktivitas-aktivitasnya. Ruh yang dimilikinya persis sama dengan ruh manusia yang memiliki sifat seperti; iradah dan niat dan lain-lain. Lambat laun manusia primitif menganggap bahwa segalanya memiliki ruh, segala fenomena yang ia saksikan dan yang ia dengar, mereka nisbahkan pada ruh, artinya dengan hal ini, manusia primitif dapat menafsirkan fenomena-fenomena yang ada disekitarnya-seperti banjir, gempa dan lainnya-dengan pandangan tersebut.
Setelah fenomena-fenomena tersebut ia nisbahkan pada ruh, untuk sampai pada tujuan-tujuan yang diinginkannya, mereka kemudian berfikir cara untuk bisa mempengaruhi fenomena tersebut, dengan jalan berhubungan dengan ruh-ruh yang menggerakkan dan mendatangkan fenomena tersebut. Benak manusia primitif tidak cukup sampai disini saja, benak mereka menggeneralisasi pada tempat yang lain, bahwa sebelumnya ia meyakini bahwa tiap fenomena memiliki ruh tertentu, namun kemudian untuk fenomena-fenomena yang memiliki kemiripan, ia yakini memiliki satu ruh yang sama, misalnya sebelumnya ia meyakini bahwa setiap pohon beringin, masing-masing memiliki ruh yang berbeda-beda, namun kemudian ia meyakini bahwa seluruh pohon beringin hanya memiliki satu ruh, karena semua pohon beringin memiliki karakter yang sama, lebih dari itu, karena semua pohon memiliki karakter yang sama, maka seluruh pohon hanya memiliki satu ruh. Dari sinilah awal mula pemahaman tentang Tuhan-Tuhan, ibadah dan penyembahan yang ada dalam agama.
Selanjutnya, manusia primitif meyakini bahwa di antara ruh-ruh, ada yang memiliki kekuasaan yang lebih di antara ruh-ruh yang lain. Oleh karena itu, manusia primitif terpaksa menyembah Tuhan yang banyak, untuk sampai pada tujuan yang diinginkannya, misalnya; ketika musim kemarau datang, maka mereka menyembah Tuhan hujan, ketika musim serangga datang, mereka menyembah Tuhan pembasmi, begitu juga dengan fenomena-fenomena lainnya. Tahapan ini disebut dengan Politeisme.
Tylor kemudian menambahkan bahwa benak manusia tidak berhenti pada tahapan tersebut, namun sebagaimana sebelumnya dari tahapan Animisme menuju Politeisme, dan dari Politeisme menuju Monoteisme. Dalam tahapan Monoteisme, mereka hanya menyembah satu Tuhan, yang menguasai seluruh keberadaan.
Sekarang kita mengetahui bersama bahwa Intelektualisme menganggap agama sebagai jawaban dari kebutuhan pengetahuan manusia. Menurut pandangan ini, agama adalah produk manusia primitif-mengutip kata Tylor; produk  filosof liar - dalam menjelaskan fenomena sekitarnya. Akan tetapi pengetahuan ini, tidak berhenti pada tahap pertama saja, namun ia bergerak dari Anisme ke Politeisme dan kemudian ke Monoteisme, sesuai dengan kecendrungan evolusi benak manusia.
8. AGAMA, SEBUAH TAHAPAN EVOLUSI PEMIKIRAN MANUSIA
Para pemikir yang kami angkat dalam kesempatan ini, sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Evolusionisme abad 19, mereka menganggap bahwa perubahan-perubahan internal agama disebabkan oleh sebuah proses yang berevolusi, agama adalah salah satu tahapan dari beberapa tahapan evolusi manusia, yang bersandar pada evolusi alam mental atau akal manusia. Para pemikir di atas sepakat bahwa sejarah manusia bergerak menuju kesempurnaan, yang dimulai dari titik yang paling sederhana, hingga ke titik yang paling puncak, dan para pemikir ini sepakat bahwa faktor dan penyebab evolusi ini adalah akal dan benak manusia, akan tetapi para pemikir ini berbeda dalam mengambil sumber dan informasi. Masing-masing dari pemikir ini berbeda dalam menyebutkan tahapan-tahapan evolusi agama. Oleh sebab itu, ada baiknya jika kami kemukakan pandangan mereka secara singkat.
August Comte meyakini ada tiga tahapan dalam proses evolusi sejarah manusia; pertama, tahapan teologi. Menurutnya, dalam tahapan ini, masyarakat memiliki keyakinan bahwa di balik fenomena-fenomena alam ini, dikontrol oleh suatu keberadaan metafisik. Tahapan ini memiliki tiga cabang; cabang pertama disebut dengan Fetishisme. Manusia dalam tahapan Fetishisme ini meyakini bahwa segala fenomena alam-seperti dirinya-memiliki ruh atau jiwa, yang menggerakkan fenomena-fenomena tersebut. Cabang kedua adalah Politeisme, dalam tahapan ini mereka tidak berbicara mengenai ruh, namun meyakini akan keberadaan Tuhan-Tuhan yang mengontrol dan mengaturnya. Tuhan-Tuhan ini menguasai segalanya termasuk manusia, oleh karena itu, manusia mengadakan ritual dan penyembahan untuk meminta keridhaan tuhan-tuhan tersebut.
Penyembahan ini bagi mereka memiliki peranan yang sangat besar, sehingga mereka memilih tokoh spiritual tertentu sebagai penghubung antara dia dan tuhan-tuhan mereka, dan juga berfungsi untuk mengajarkan bagaimana menyembah yang benar. Cabang ketiga adalah Monoteisme, dalam tahapan ini manusia tidak lagi menyembah beberapa Tuhan, tapi hanya menyembah satu Tuhan, yang menguasai segalanya.
Tahapan kedua adalah tahapan filosofis, dalam tahapan ini manusia dalam menjustifikasi sesuatu tidak lagi berdasarkan pada kekuatan metafisik, tapi bersandar pada substansi sesuatu itu sendiri.
Tahapan ketiga adalah tahapan Positivisme. Dalam tahapan ini manusia tidak lagi menggunakan dua metode sebelumnya, tapi ia mulai mengobservasi fenomena tersebut, dan mencoba menentukan hubungan-hubungan yang teratur diantaranya. Comte meyakini bahwa fakultas-fakultas pengetahuan yang memiliki kerumitan tertentu akan sampai pada tahapan ini.
Tylor dan Frazer meyakini bahwa ketiga tahapan tersebut adalah magic, agama dan ilmu. Dalam pandangan mereka, aktvitas magic dilakukan berdasarkan prinsip analogi dan asosiasi. Frazer meyakini akan dua jenis magic, pertama; sebuah magic yang dilakukan berdasarkan kemiripan sesuatu, yaitu dengan melihat adanya kemiripan di antara dua obyek, obyek yang satu dapat mempengaruhi obyek yang lain, dengan mengoperasikan teknik-teknik magic tertentu pada salah satu obyek tersebut, misalnya untuk melukai seseorang, cukup dengan membuat patung atau boneka yang mirip dengan orang tersebut, dan kemudian ia tusukkan jarum pada boneka tersebut. Jenis kedua adalah magic menjalar, yang dapat dioperasikan dengan sentuhan tertentu atau menularkannya. Misalnya; jika kita mendapatkan salah satu bagian dari bekas anggota tubuh seseorang, seperti kuku dan rambut, kita dapat menyihir orang tersebut.
Setelah tahapan magic, selanjutnya masuk dalam tahapan agama. Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa dalam tahapan agama, mereka menjelaskan fenomena-fenomena alami dengan menyandarkannya pada ruh-ruh dan Tuhan-Tuhan. Untuk mempengaruhi seseorang mereka tidak menggunakan magic lagi, tapi cukup dengan bermunajat pada ruh-ruh atau Tuhan-Tuhan.  Tahapan selanjutnya adalah tahapan ilmu, menurut Frazer, pengetahuan manusia pada fenomena-fenomena alam semakin hari akan semakin bertambah, penjelasan agama tidak lagi memuaskan seseorang dalam menjelaskan fenomena tersebut, manusia lebih menyandarkan pengetahuannya pada penemuan-penemuan ilmiah mereka. Dalam tahapan ini manusia sama sekali tidak butuh kekuatan metafisik, yang mereka gunakan adalah metode-metode eksperimentasi, dalam menemukan sebab-sebab dan factor-faktor fenomena tersebut.
Sebagaimana yang Anda perhatikan, teori Intelektualisme melirik agama sebagai sebuah metode dan pengetahuan dalam menjelaskan dunia, yang diawali dalam tahapan tertentu dari perkembangan pemikiran manusia. Oleh karena itu, karena pengetahuan manusia terhadap fenomena tersebut semakin hari sekamin bertambah, maka kebutuhan dia pada agama akan semakin berkurang, bahkan suatu saat nanti dia tidak membutuhkannya sama sekali.
Pertanyaan selanjutnya; apakah agama hanyalah sebuah tahapan dari sebuah pemikiran manusia, yang hilang secara tiba-tiba dan digantikan oleh ilmu dan metode ilmiah, ataukah perpindahan tahapan beranjak secara perlahan-lahan? Dengan kata lain, setelah tahapan selajutnya siap untuk menggantikan tahapan sebelumnya, apakah tahapan sebelumnya sirna sama sekali, ataukah terdapat unsur-unsur yang masih menetap dan bercampur dengan tahapan salanjutnya? Dalam menjawab pertanyaan ini, para analis Intelektualisme sepakat bahwa terdapat unsur-unsur dalam tahapan sebelumnya yang masih bertahan dalam tahapan selanjutnya, bahkan sampai waktu yang sangat panjang, yang disebabkan oleh faktor efisiensi. Tylor menggunakan pemahaman survivals dalam menjelaskan unsur yang tetap bertahan tersebut.
 Dalam pandangan Tylor, budaya yang berbeda-beda dan juga bagian dari sebuah budaya, semuanya tidak menyempurna secara bersamaan. Secara umum, sebagian dari bagian sebuah budaya tertentu, dimana dalam sebuah masa tertentu memiliki efisiensi yang baik, akan memungkinkan bagian sebuah budaya tersebut masih tetap bertahan walapun bagian lainnya telah mengalami perubahan, misalnya pada zaman dahulu, untuk berburu cukup dengan menggunakan panah dan busur, namun para pemburu modern tidak lagi menggunakan alat tersebut, mereka lebih memilih senjata dalam berburu, namun panah dan busur masih tetap terpelihara hingga saat ini, disebabkan karena memanah dilihat sebagai sebuah kemahiran dalam sebuah olah raga atau sebagai interaksi. Comte juga menerima adanya unsur-unsur dalam berbagai tahapan yang satu sama lain saling bercampur, namun Comte lebih banyak memperhatikan pada sisi sosialnya. Dalam pandangan Comte, ketiga tahapan alam mental manusia, akan menghasilkan keharmonisan dan kesatuan dalam sistem masyarakat, namun ketika unsur-unsur tersebut satu sama lain telah bercampur, akan menimbulkan problema dalam sistem masyarakat. Comte juga meyakini bahwa krisis yang melanda era modern disebabkan oleh hadirnya ketiga tahapan unsur tersebut secara bersamaan.         
9. PANDANGAN KHAS AUGUST COMTE
August Comte adalah pendiri mazhab Positivisme, dia menginginkan seluruh fenomena-fenomena sosial dianalisa dan diobservasi, sama seperti kita mengobservasi dan menganalisa fenomena-fenomena alam. Selain pandangan di atas, Comte juga menerima pandangan lain yang disebut sebagai Fungsionalisme, yang menyelidiki fenomena-fenomena sosial berdasarkan fungsi-fungsinya. Selain kedua pandangan di atas, Comte juga menerima pandangan Evolusionisme, dan dengan ketiga pandangan tersebut ia mencoba meneliti dan menganalisa masyarakat.
Comte meyakini bahwa faktor mendasar sebuah perubahan dalam masyarakat adalah pengetahuan, dan tahapan-tahapan evolusi masyarakat dan pengkategorian pengetahuan merupakan titik fokus bangunan pemikirannya. Sekarang kita akan mencoba meringkas pandangannya mengenai agama.
a)      Comte meyakini bahwa agama muncul dari sebuah tahapan tertentu dari sejarah manusia. Di sisi lain Comte meyakini bahwa masyarakat selamanya butuh pada agama, artinya bahwa dari satu sisi agama terancam kepunahan, karena agama berhubungan pada masa dahulu, dan sebab itu agama harus digantikan dengan sesuatu yang sesuai dengan masa kekinian. Di sisi lain masyarakat butuh pada sebuah sistem yang dapat menyatukan mereka, sebuah ide-ide umum dan universal, yang hanya dapat diberikan oleh agama. Secara sepintas kita melihat adanya paradoks dalam pandangan Comte, namun Comte lebih jeli untuk bisa keluar dari lingkaran paradoks tersebut. Jika kita lebih teliti pada uraian-uraian yang dipersembahkan oleh Comte, kita akan menemukan bahwa agama yang mengalami kepunahan adalah sebuah agama yang berada dalam tahapan pertama evolusi manusia, yang mana pemikiran yang mendominasi dalam pandangan tersebut adalah sebuah pemikiran metafisik, yang menyerahkan seluruh fenomena pada Tuhan-Tuhan dan ruh-ruh. Namun dalam pandangan Comte, agama tidak terbatasi pada apa yang mendominasi dalam pemikiran tahapan pertama, bahkan dalam pandangan Comte, apa saja yang membuat keharmonisan dan dapat menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama. Oleh karena itu, dalam pandangan Comte, walaupun masyarakat modern butuh pada agama, namun agamanya haruslah dalam ruang lingkup ilmu, positivistik dan sesuai dengan masyarakat modern.
b)      Walaupun unsur pengetahuan agama dalam perubahan agama memiliki peranan yang sangat penting, namun Comte tidak melupakan faktor sosiologi mengenai pranata-pranata sosial. Menurut Comte; setiap tahapan-tahapan perubahan alam mental manusia, berkaitan erat dengan sebuah institusi sosial dan dominasi politik tertentu yang ia ciptakan. Tahapan teologi dibawah dominasi para tokoh spiritual dan dikomandoi oleh pria-pria militer . . . tahapan metafisika, berada pada masa abad pertengahan dan renasains, yang didominasi oleh para pastor dan hakim. Tahapan ketiga yang baru saja dimulai, di bawah dominasi para manager-manager industri dan diarahkan oleh etika para ilmuan. (Tsulasi,2014 :30) Artinya bahwa setiap tahapan dari evolusi pemikiran masyarakat, menciptakan sebuah institusi sosial yang sesuai dengan tahapan tersebut. Oleh karena itu, jika terdapat dua atau beberapa institusi yang hadir dalam masyarakat yang satu, mungkin saja akan menyebabkan sebuah krisis dalam masyarakat. Comte meyakini bahwa krisis sosial yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh bercampurnya system-sistem pemikiran klasik dan modern.
c)      Sebagaimana yang Anda perhatikan bahwa dalam pandangan Intelektualisme, seluruh perhatian ia kerahkan pada pikiran dan pemikiran, instrumen perasaan hampir jarang disentuh, boleh dikata mereka telah melupakannya sama sekali. Pandangan ini bisa kita benarkan jika kita melihat analisis Comte mengenai agama, namun dalam beberapa hal, Comte sempat mengisyaratkan beberapa hal mengenai hal tersebut, bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah cinta kepada sebuah eksistensi yang lebih mulia darinya, dan kebutuhan ini hanya bisa dipenuhi oleh agama, bahkan ketika manusia masuk dalam agama modern, manusia tetap tidak melupakan kebutuhan kemanusiaan ini. Kata Comte; manusia bisa saja letih dari bekerja dan berfikir, namun ia tidak akan pernah lelah dari cinta (parhom,2014 :118). Dalam pandangan Comte, agama memiliki tiga dimensi. Pertama; dimensi akal, yaitu kepercayaan pada dogmatis agama. Kedua; dimensi perasaan yang menjelma dalam bentuk ibadah dan penyembahan. Ketiga; dimensi praktik, Comte menyebutnya dengan disiplin.





























DAFTAR PUSTAKA
Muhsin Tsulasi, Kehidupan dan Pemikiran para Pembesar Sosilogi; hal. 30. Dalam: http://www.al-shia.org/html/id/page.php?id=609, dikutip: 28, September 2014
Baqir Parhom, Tahapan pemikiran dalam sosiologi; Raymon; hal 118. Dalam: http://www.al-shia.org/html/id/page.php?id=609, dikutip: 28, September 2014
Anonim, 2014: Filsafat ilmu, dalam: https://www.facebook.com/permalink.php?id=136518356497108&story_fbid=155300844618859, dikutip: 28, September 2014

0 komentar:

Posting Komentar