Jumat, 22 Maret 2013

Sejarah Kebudayaan Hindu




PEMBAHASAN
1.1  Budaya Ngayah
Kata Ngayah sangat populer dikalangan Umat Hindu terutama yang berasal dari Bali, setiap kali ada suatu aktivitas atau pekerjaan di sebuah pura atau fasilitas umum milik masyarakat, biasanya pememimpin masyarakat di sana akan mengajak warganya untuk “Ngayah” menyelesaikan pekerjaan secara gotong royong dengan ikhlas tanpa pamrih.  “Ngayah” bukanlah kata aneh bagi umat Hindu umumnya, atau masyarakat (Hindu) Bali khususnya. Dalam berbagai kegiatan keagamaan (Hindu) ngayah itu bagai “Oksigen” yaitu suatu kebutuhan hakiki yang
menafasi darah religiusitas kita. Tapi pada saat yang sama ngayah sekaligus bagai “air dan api kosmis” yang mencuci jernih keruh-keruh karma kita atau membakarbebaskan benih-benih kemalasan (tamasa) yang mencengkram Dharma kita. Sejauh mana manusia Hindu memahami, menghayati dan merefleksikan ngayah dalam  kehidupan  keagamaannya? Secara intra-personal (dalam hubungan manusia dengan Tuhannya) adalah terpulang kepada manusia Hindu bukanlah manusia yang terasing secara inter-personal (hubungan horizontal antara yang satu dengan yang lainnya) atau sosio-kultural. Berkaitan dengan kedua sudut pandang (point of view) itulah maka soal filosofi ngayah sangat relevan kita angkat sebagai “Pratipadhya” (topik) untuk diperbincangkan dalam tulisan ini, terutama dalam konteknya dengan kehidupan sosioreligius-kultural Hinduisme. Mengapa dan untuk apa kita ngayah? Apa sih sesungguhnya arti dan makna dari ngayah itu dalam hidup keagamaan kita? Dan seratus pertanyaan bisa bermunculan dari topik tersebut. Tapi dalam “bekal” pemahaman yang sangat kurang, maka pengupasan  yang dilakukan  masih terbatas seputar dua masalah dasar di atas. (Dikutip dalam: seabass86.wordpress.com, pengertian ngayah dalam konsep hindu oleh:anonym)
1.      Arti Ngayah
Secara harfiah ngayah berarti: melakukan  pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990) Istilah ini dari segi etimologis diadopsi dari konteks politik dan kultur feudal dari zaman raja-raja Bali, yakni dari akar kata “Ayah”   yang terpancar dari budaya PURUSAISME  atau Patrilineal/Patrirhat, terutama berkaitan dengan sistem pewarisannya. Maka kemudian menjadi “ayahan” yang secara sangat spesifik ialah mengacu pada :Tanah ayahan desa (sebagai bagian integral tanah adat) dan konskuensinya.  Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi/dijalani oleh orang bersangkutan (yang mendiami tanah ayahan). Sebagai salah satu wujud tanggung jawab. Dalam kaitannya dengan kewajiban-kewajibannya ini dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :
a)      Kewajiban religius-teritorial, terutama Pura Kahyangan Tiga (pengayah pura)
b)      Kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan sosiokultural banjar adat (pengayah banjar adat)
c)      Kewajiban berupa dedikasi, loyalitas berkaitan dengan raja-raja yang memerintah pada masa itu (pengayah puri). Karena sebagian tanah-tanah ayahan itu adalah pemberian dari raja yang diperoleh (sebagai rampasan perang) atas penaklukan kerajaan/ daerah lain.
Latar belakang sosiologis dan historis tersebut telah menunjukan bahwa semula budaya ngayah itu berakar dari kata ayah , ayahan , pengayah , ngayahang ( yang saling kait mengkait dalam satu kesatuan konskuensi logis – eksistensialistis). Eksitensi tanah ayahan desa telah membawa konsekuensi logis bagai pengayah untuk melakukan kewajiban sosio-religiuskultural, yakni ngayahang. Konsekuensi eksistensislistis ini juga berimplikasi terhadap kenyataan lingual budaya ngayah itu sendiri. Sehingga kita mengenal prinsip perbedaan makna yang diturunkan dari realitas tersebuat, yaitu: Ngayah ke Pura, ngayah ke banjar dan ngayah ke puri atau Ngayah ke gerya. Dalam pada itu masyarakat Bali secara principal (sosiosemantik) membedakan ngayah dengan ngoopin (ngaopin), meskipun ngoopin juga memiliki makna melakukan kerja tanpa upah tapi secara hakiki tidak sama.  Sehingga tidak ada orang Hindu (Bali) yang berkata banjar/puri/gerya. Tradisi ngayah diletakkan dalam format hubungan “vertical ke Tuhan”. Atau “vertical-organisatoris adat” serta “vertical-struktur sosial/kasta”. Sedang tradisi ngoopin jelas diletakkan dalam format hubungan horizontal (lebih proletar).
2.      Refleksi Sosioreligious Ngayah
Secara fenomenalogis, ngayah merupakan sebuah gejala sosio-religio-kultural masyarakat Hindu. Dalam kaitan ini ngayah menjadi gejala religio-kultural yang dengan jelas dapat diamati dalam masyarakat bersangkutan. Dan daripadanya, kita dapat suatu formulasi berkenaan dengan masalah pola pikir, ide, gagasan, sikap dan point of view mereka. dan lebih penting, fenomena ngayah sebagai gejala sosiobudaya yang tampak pada saat diteliti lebih jauh, dan ditarik sebagai  terminus anteequem dalam melihat kecendurang-kecenderungan hidup sosio-kultural masyarakat Hindu dimasa yang akan datang. Betapa tidak, sebab hidup masyarakat Hindu ialah juga bagian dari bagian yang tak terpisahkan dari hidup masyarakat dan budaya dunia, terlebih kala dimana kita tengah menyongsong millinium ke tiga (babak ketiga putaran Kaliyuga, terutama pasca tahun masehi) ini.
Apakah aktivitas ngayah masih relevan? Pertanyaan ini bernada minor, pesimistis dan eskapis! Untuk itu “energinya” harus direinforcement, dengan membalik, “bagaimana merefleksikan ngayah agar tetap relevan”? ini adalah kegelisahan yang positif, bertenaga, serta punya darah: bukan pucat bangkai! Maka alternative problem solvingnya pun menjadi lebih dinamik, disbanding yang semula, yang berkesan menghidap “Hinduwi impotent”! upaya yang dapat ditempuh untuk merefleksikan “ethos ngayah” atau sikap “devotionalty” sangat jamak (there are many kinds of relegio-cultural activities). Dan dalam kontek ini, segenap lapisan masyarakat Hindu memiliki peluang yang seluas-luasnya dalam melaksanakan Dharma Agamanya di dalam hidup mereka.
Refleksi ethos ngayah dalam kontek budaya global ini dapat dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan catatan, bahwa segala  aktivitas yang dilakukan oleh manusia Hindu itu dilandasi “Jiwa Dasyam” yang tulus dan ikhlas kepada Ista Dewata (Hyang Widhi dalam segala perwujudannya sebagai SAGUNA BRAHMAN, atau pun dalam ketidakberwujudannya sebagai NIRGUNA BRAHMAN yang dipuja/puji sebagai satu-satunya perlindungan).
Bentuk pemahaman, penghayatan dan implementasi ngayah dalam arti luas ini, antara lain dapat direfleksikan melalui menulis cerita-cerita ke-Tuhanan, menulis buku-buku agama, Dharma wacana, menyekolahkan anak yatim/piatu, mengajarkan tentang agama dan sebagainya.
Bila berbagai kegiatan hidup itu dilakukan sebagai cermin dari sifat  “devotional service, freedom of compensation, atau kerja sebagai suatu ibadah (persembahan) relegius kepada Hyang Widhi Wasa”, maka aktivitas itu tercakup dalam pengertian ngayah. Hingga kini, ngayah memang lebih banyak dipahami, dimaknai dalam lingkup yang sempit dan terbatas. Seperti ngayah membuat upakara pada waktu piodalan di pura, mempersembahkan Tari Wali, Bebali, atau memercikkan tirtha kepada umat, dan sebagainya. Akibat banyak warga yang tidak bisa terlibat dalam kegiatan ngayah berkenaan dengan piodalan itu, merasa dirinya “asing” atau “tidak  percaya diri”, atau “bahkan  tidak enak tidur”.
Jika mereka memahami dengan benar secara konseptual tentang makna  dan hakekat dari ngayah, maka hal itu tidak perlu terjadi. Tapi inilah suatu “gejala” dari jiwa/atma yang telah terkontaminasi “maya” (unsure prakerti), ia lupa akan  entitasnya yang tidak terbatas, akan tetapi karena belenggu maya ia menjadi bingung, linglung, berpikir sempit, terbatas dan terkungkung. Ia terjebak kepada “False conciousness” akan eksitensi “adanya yang tiada”. Dalam kekawin Arjuna Wiwaha, Mpu Kanwa mengibaratkan, “seperti angin di dalam bumbung bambu”
3.      Hakikat  (Filoshopy) Ngayah
Aktivitas ngayah yang masih  melekat dalam sikap bathin dan budaya manusia Hindu pada hakekatnya berpegang pada suatu rumusan filosofis “kerja sebagai ibadah” dan “ibadah dalam kerja”. Dalam disiplin kerja relegius manusia modern (barat) pemahaman demikian tertuang salam motto “ora et labora” (bekerjalah dan berdoalah). Paham kerja dalam folosofis ini ialah representasi kerja dari sesosok “para bhakta” sebagai “Dasyam” kepada Ista Dewata.
Paham kerja ini dengan jelas dittahtakan dalam kitab Bhagawadgita ll.47, seperti yang dinyatakan dalam kutipan berikut:
“Karmany evadhikaras te ma phalesu kadacana ma karma phala hetur bhur ma te sanggostava akarmani”
“Hanya berbuat untuk kewajiban bukan hasil perbuatan itu (kau pikirkan), jangan sekali-kali pahala menjadi motifmu bekerja, jangan pula tidak bekerja (sebab tak berharap pahala)”
Dalam paham kerja ini, hanya semata-mata untuk pahala material (pamrih), atau sama sekali tidak bekerja, (nirkarma) karena semata-mata sesempit “angin di kurungan ruas bambu” sindiran Mpu Kanwa.
Pemaham atas hakekat kerja tersebut secara praktis juga perlu didukung oleh suatu sikap bathin yang terumus dalam kalimat “rame ing gawe sepi ing pamrih”. Ungkapan ini nampak sederhana tapi mengandung makna yang sangat dalam, terutama berkenaan dengan paham kerja di atas. Secara teoritis, paham kerja ngayah ini dilihat  dari pemikir K. Bertnes (Etika,1997:211-212) akan mengandung dua konskuensi  etik yaitu Etika keutamaan dan etika kewajiban.
Etika keutamaan yang berabad-abad telah dikemukan oleh Sokrates, Plato dan Aristoteles pada dasarnya berorientasi pada “being manusia”, dengan rumusan “what kind of person should I be” (saya harus menjadi orang yang bagaimana). Sedang etika kewajiban yang dikembangkan oleh David Hume, dan Kant bagi kehidupan zaman modern, pada prinsipnya berorientasi pada “doing manusia” dengan rumusan “what should I do” (saya harus mengerjakan apa?)
Rumusan ini bagi sosok manusia Hindu lebih jauh diperdalam dalam pemahaman “kharisma” yang di sebut “Taksu”. Konsep ini spiritual taksu menjadi dasar baik dalam representasi paham kerja yang mengacu pada being maupun doing manusia. konsep ini tidak semata-mata memberi pergulatan teknik, tapi  juga religius yang pengayan dan pendalaman atas nuansa spiritual dan theologisnya tentu berbaris pada aktivitas NGAYAH.
Dalam tatanan inilah kegiatan ngayah secara filosofis adalah upaya yang automatically memiliki hakikat “kebebasan eksistensial ini, seperti di sindir di dalam lontar Singhalanggyala Parwa, bahwa tidak jatuh dari langit yang dinyatakan : “tan hanang wastu tan palalayan” (tiada anugrah tanpa suatu usaha sungguh-sungguh untuk menggapai-Nya.
1.2  Degradasi Minat Ngayah di Desa Selat Dusun Gambuh Akibat Dampak Arus Globalisasi.
Desa selat merupakan desa yang mayoritas hindu penduduknya, bisa dibilang desa ini adalah desa yang sudah maju, karena di desa ini sarana dan prasarana pendidikan cukup memadai, SD, SMP, dan SMA sudah lama ada dalam desa selat khususnya di dusun gambuh ini. Masyarakat desa ini hampir 89% petani dan sisanya merupakan PNS dan Nelayan. Di dalam desa selat khususnya di dusun gambuh sejak dahulu sudah mengenal ngayah, setiap tahun, maupun setiap hari-hari menjelang upacara besar agama dalam pura-pura tertentu penduduk desa selat dusun gambuh ini melakukan hal tersebut. Akan tetapi semenjak memasuki arus globalisasi, konsep ngayah pada desa selat ini semakin hari semakin berkurang, itu dikarenakan:
1.      Penduduk desa selat dusun gambuh pola pikirnya untuk masa yang sekarang berpacu pada pekerjaan yang memberikan hasil
2.      Akibat arus globalisasi penduduk atau masyarakat sifat ke-egoan dari masing-masing individu mulai muncul
3.      Munculnya sifat acuh tak acuh akibat globalisasi dengan mementingkan kepentingan sendiri daripada kepentingan orang lain atau bersama.
pendapat orang-orang tentang ngayah itu hanya pekerjaan yang membuang-buang waktu, walaupun sudah dikenai denda sampai berlipat ganda atau istilahnya dalam bahasa bali di desa selat dusun gambuh di sebut dengan “ngampel/nikel” tetapi malah bersikap biasa-biasa saja dan bisa dibilang konsep dalam pikiran mereka adalah ngayah bisa dibayar dengan uang. Kendati dalam masyarakat memiliki problema seperti itu seharusnya pihak adat yang terkait dalam pelaksanaan ngayah harus memberikan sanksi yang ketat dan tegas,  tidak hanya peran desa adat saja akan tetapi juga peran penyuluh agama agar memberikan pemahaman yang mendalam bagi masyarakat tentang konsep ngayah yang positif dan  tentunya kita sebagai umat hindu juga harus membangkitkan semangat dalam diri bahwa ngayah merupakan budaya asli bali dan umat hindu yang seharusnya patut kita lestarikan guna memerikan kehidupan harmonis dan sejahtra.




Simpulan
Berdasarkan Paparan Materi Yang Berjudul Degradasi Budaya Ngayah Akibat Arus Globalisasi Di Desa Selat Dusun Gambuh Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng yang telah dipaparkan dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1.      Secara harfiah ngayah berarti: melakukan  pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990,dikutip dalam seabass86.wordpress.com)
2.      Ngayah menjadi gejala religio-kultural (Kebudayaan beragama) yang dengan jelas dapat diamati dalam masyarakat bersangkutan
3.      Refleksi ethos ngayah dalam kontek budaya global ini dapat dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan catatan, bahwa segala  aktivitas yang dilakukan oleh manusia Hindu itu dilandasi “Jiwa Dasyam” yang tulus dan ikhlas kepada Ista Dewata (Hyang Widhi dalam segala perwujudannya sebagai SAGUNA BRAHMAN, atau pun dalam ketidakberwujudannya sebagai NIRGUNA BRAHMAN yang dipuja/puji sebagai satu-satunya perlindungan).
4.      Ngayah memiliki dampak positif yaitu mampu mempersatukan masyarakat secara tidak langsung dengan konsep sederhana berkerja bersama tanpa pamrih.




Daftar pustaka
Bhagawadgita ll.47,dikutip dalam seabass86.wordpress.com
kamus Bali-Indonesia,1990,dikutip dalam seabass86.wordpress.com, pengertian budaya dan asal-usul kebudayaan
K. Bertnes (Etika,1997:211-212) dikutip dalam seabass86.wordpress.com, pengertian budaya dan asal-usul kebudayaan

1 komentar: