PEMBAHASAN
1.1
Budaya Ngayah
Kata Ngayah sangat populer dikalangan Umat
Hindu terutama yang berasal dari Bali, setiap kali ada suatu aktivitas atau
pekerjaan di sebuah pura atau fasilitas umum milik masyarakat, biasanya
pememimpin masyarakat di sana akan mengajak warganya untuk “Ngayah”
menyelesaikan pekerjaan secara gotong royong dengan ikhlas tanpa pamrih. “Ngayah” bukanlah kata aneh bagi umat Hindu
umumnya, atau masyarakat (Hindu) Bali khususnya. Dalam berbagai kegiatan
keagamaan (Hindu) ngayah itu bagai “Oksigen” yaitu suatu kebutuhan hakiki yang
menafasi darah religiusitas kita. Tapi pada saat yang sama ngayah sekaligus bagai “air dan api kosmis” yang mencuci jernih keruh-keruh karma kita atau membakarbebaskan benih-benih kemalasan (tamasa) yang mencengkram Dharma kita. Sejauh mana manusia Hindu memahami, menghayati dan merefleksikan ngayah dalam kehidupan keagamaannya? Secara intra-personal (dalam hubungan manusia dengan Tuhannya) adalah terpulang kepada manusia Hindu bukanlah manusia yang terasing secara inter-personal (hubungan horizontal antara yang satu dengan yang lainnya) atau sosio-kultural. Berkaitan dengan kedua sudut pandang (point of view) itulah maka soal filosofi ngayah sangat relevan kita angkat sebagai “Pratipadhya” (topik) untuk diperbincangkan dalam tulisan ini, terutama dalam konteknya dengan kehidupan sosioreligius-kultural Hinduisme. Mengapa dan untuk apa kita ngayah? Apa sih sesungguhnya arti dan makna dari ngayah itu dalam hidup keagamaan kita? Dan seratus pertanyaan bisa bermunculan dari topik tersebut. Tapi dalam “bekal” pemahaman yang sangat kurang, maka pengupasan yang dilakukan masih terbatas seputar dua masalah dasar di atas. (Dikutip dalam: seabass86.wordpress.com, pengertian ngayah dalam konsep hindu oleh:anonym)
menafasi darah religiusitas kita. Tapi pada saat yang sama ngayah sekaligus bagai “air dan api kosmis” yang mencuci jernih keruh-keruh karma kita atau membakarbebaskan benih-benih kemalasan (tamasa) yang mencengkram Dharma kita. Sejauh mana manusia Hindu memahami, menghayati dan merefleksikan ngayah dalam kehidupan keagamaannya? Secara intra-personal (dalam hubungan manusia dengan Tuhannya) adalah terpulang kepada manusia Hindu bukanlah manusia yang terasing secara inter-personal (hubungan horizontal antara yang satu dengan yang lainnya) atau sosio-kultural. Berkaitan dengan kedua sudut pandang (point of view) itulah maka soal filosofi ngayah sangat relevan kita angkat sebagai “Pratipadhya” (topik) untuk diperbincangkan dalam tulisan ini, terutama dalam konteknya dengan kehidupan sosioreligius-kultural Hinduisme. Mengapa dan untuk apa kita ngayah? Apa sih sesungguhnya arti dan makna dari ngayah itu dalam hidup keagamaan kita? Dan seratus pertanyaan bisa bermunculan dari topik tersebut. Tapi dalam “bekal” pemahaman yang sangat kurang, maka pengupasan yang dilakukan masih terbatas seputar dua masalah dasar di atas. (Dikutip dalam: seabass86.wordpress.com, pengertian ngayah dalam konsep hindu oleh:anonym)
1.
Arti Ngayah
Secara
harfiah ngayah berarti: melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus
Bali-Indonesia,1990) Istilah ini dari segi etimologis diadopsi dari konteks
politik dan kultur feudal dari zaman raja-raja Bali, yakni dari akar kata
“Ayah” yang terpancar dari budaya PURUSAISME atau Patrilineal/Patrirhat,
terutama berkaitan dengan sistem pewarisannya. Maka kemudian menjadi “ayahan”
yang secara sangat spesifik ialah mengacu pada :Tanah ayahan desa (sebagai
bagian integral tanah adat) dan konskuensinya.
Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi/dijalani oleh orang bersangkutan
(yang mendiami tanah ayahan). Sebagai salah satu wujud tanggung jawab. Dalam
kaitannya dengan kewajiban-kewajibannya ini dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :
a) Kewajiban religius-teritorial,
terutama Pura Kahyangan Tiga (pengayah pura)
b) Kewajiban yang berkaitan dengan
kegiatan sosiokultural banjar adat (pengayah banjar adat)
c) Kewajiban berupa dedikasi, loyalitas
berkaitan dengan raja-raja yang memerintah pada masa itu (pengayah puri).
Karena sebagian tanah-tanah ayahan itu adalah pemberian dari raja yang
diperoleh (sebagai rampasan perang) atas penaklukan kerajaan/ daerah lain.
Latar belakang sosiologis dan
historis tersebut telah menunjukan bahwa semula budaya ngayah itu berakar dari
kata ayah , ayahan , pengayah , ngayahang ( yang saling kait mengkait dalam
satu kesatuan konskuensi logis – eksistensialistis). Eksitensi tanah ayahan
desa telah membawa konsekuensi logis bagai pengayah untuk melakukan kewajiban
sosio-religiuskultural, yakni ngayahang. Konsekuensi eksistensislistis ini juga
berimplikasi terhadap kenyataan lingual budaya ngayah itu sendiri. Sehingga
kita mengenal prinsip perbedaan makna yang diturunkan dari realitas tersebuat,
yaitu: Ngayah ke Pura, ngayah ke banjar dan ngayah ke puri atau Ngayah ke
gerya. Dalam pada itu masyarakat Bali secara principal (sosiosemantik)
membedakan ngayah dengan ngoopin (ngaopin), meskipun ngoopin juga memiliki
makna melakukan kerja tanpa upah tapi secara hakiki tidak sama. Sehingga
tidak ada orang Hindu (Bali) yang berkata banjar/puri/gerya. Tradisi ngayah
diletakkan dalam format hubungan “vertical ke Tuhan”. Atau
“vertical-organisatoris adat” serta “vertical-struktur sosial/kasta”. Sedang
tradisi ngoopin jelas diletakkan dalam format hubungan horizontal (lebih
proletar).
2.
Refleksi Sosioreligious Ngayah
Secara
fenomenalogis, ngayah merupakan sebuah gejala sosio-religio-kultural masyarakat
Hindu. Dalam kaitan ini ngayah menjadi gejala religio-kultural yang dengan
jelas dapat diamati dalam masyarakat bersangkutan. Dan daripadanya, kita dapat
suatu formulasi berkenaan dengan masalah pola pikir, ide, gagasan, sikap dan
point of view mereka. dan lebih penting, fenomena ngayah sebagai gejala
sosiobudaya yang tampak pada saat diteliti lebih jauh, dan ditarik
sebagai terminus anteequem dalam melihat kecendurang-kecenderungan hidup
sosio-kultural masyarakat Hindu dimasa yang akan datang. Betapa tidak, sebab
hidup masyarakat Hindu ialah juga bagian dari bagian yang tak terpisahkan dari
hidup masyarakat dan budaya dunia, terlebih kala dimana kita tengah menyongsong
millinium ke tiga (babak ketiga putaran Kaliyuga, terutama pasca tahun masehi)
ini.
Apakah
aktivitas ngayah masih relevan? Pertanyaan ini bernada minor, pesimistis dan
eskapis! Untuk itu “energinya” harus direinforcement, dengan membalik,
“bagaimana merefleksikan ngayah agar tetap relevan”? ini adalah kegelisahan
yang positif, bertenaga, serta punya darah: bukan pucat bangkai! Maka
alternative problem solvingnya pun menjadi lebih dinamik, disbanding yang
semula, yang berkesan menghidap “Hinduwi impotent”! upaya yang dapat ditempuh
untuk merefleksikan “ethos ngayah” atau sikap “devotionalty” sangat jamak
(there are many kinds of relegio-cultural activities). Dan dalam kontek ini,
segenap lapisan masyarakat Hindu memiliki peluang yang seluas-luasnya dalam
melaksanakan Dharma Agamanya di dalam hidup mereka.
Refleksi
ethos ngayah dalam kontek budaya global ini dapat dilakukan dalam berbagai
bidang kehidupan. Dengan catatan, bahwa segala aktivitas yang dilakukan
oleh manusia Hindu itu dilandasi “Jiwa Dasyam” yang tulus dan
ikhlas kepada Ista Dewata (Hyang Widhi dalam segala perwujudannya sebagai
SAGUNA BRAHMAN, atau pun dalam ketidakberwujudannya sebagai NIRGUNA BRAHMAN
yang dipuja/puji sebagai satu-satunya perlindungan).
Bentuk
pemahaman, penghayatan dan implementasi ngayah dalam arti luas ini, antara lain
dapat direfleksikan melalui menulis cerita-cerita ke-Tuhanan, menulis buku-buku
agama, Dharma wacana, menyekolahkan anak yatim/piatu, mengajarkan tentang agama
dan sebagainya.
Bila
berbagai kegiatan hidup itu dilakukan sebagai cermin dari sifat
“devotional service, freedom of compensation, atau kerja sebagai suatu ibadah
(persembahan) relegius kepada Hyang Widhi Wasa”, maka aktivitas itu tercakup
dalam pengertian ngayah. Hingga kini, ngayah memang lebih banyak dipahami,
dimaknai dalam lingkup yang sempit dan terbatas. Seperti ngayah membuat upakara
pada waktu piodalan di pura, mempersembahkan Tari Wali, Bebali, atau
memercikkan tirtha kepada umat, dan sebagainya. Akibat banyak warga yang tidak
bisa terlibat dalam kegiatan ngayah berkenaan dengan piodalan itu, merasa
dirinya “asing” atau “tidak percaya diri”, atau “bahkan tidak enak
tidur”.
Jika
mereka memahami dengan benar secara konseptual tentang makna dan hakekat
dari ngayah, maka hal itu tidak perlu terjadi. Tapi inilah suatu “gejala” dari
jiwa/atma yang telah terkontaminasi “maya” (unsure prakerti), ia lupa
akan entitasnya yang tidak terbatas, akan tetapi karena belenggu maya ia
menjadi bingung, linglung, berpikir sempit, terbatas dan terkungkung. Ia
terjebak kepada “False conciousness” akan eksitensi “adanya yang tiada”. Dalam
kekawin Arjuna Wiwaha, Mpu Kanwa mengibaratkan, “seperti angin di dalam bumbung
bambu”
3.
Hakikat
(Filoshopy) Ngayah
Aktivitas
ngayah yang masih melekat dalam sikap bathin dan budaya manusia Hindu
pada hakekatnya berpegang pada suatu rumusan filosofis “kerja sebagai ibadah”
dan “ibadah dalam kerja”. Dalam disiplin kerja relegius manusia modern (barat)
pemahaman demikian tertuang salam motto “ora et labora” (bekerjalah dan
berdoalah). Paham kerja dalam folosofis ini ialah representasi kerja dari
sesosok “para bhakta” sebagai “Dasyam” kepada Ista Dewata.
Paham
kerja ini dengan jelas dittahtakan dalam kitab Bhagawadgita ll.47, seperti yang
dinyatakan dalam kutipan berikut:
“Karmany evadhikaras te ma phalesu
kadacana ma karma phala hetur bhur ma te sanggostava akarmani”
“Hanya berbuat untuk kewajiban bukan
hasil perbuatan itu (kau pikirkan), jangan sekali-kali pahala menjadi motifmu
bekerja, jangan pula tidak bekerja (sebab tak berharap pahala)”
Dalam
paham kerja ini, hanya semata-mata untuk pahala material (pamrih), atau sama
sekali tidak bekerja, (nirkarma) karena semata-mata sesempit “angin di
kurungan ruas bambu” sindiran Mpu Kanwa.
Pemaham
atas hakekat kerja tersebut secara praktis juga perlu didukung oleh suatu sikap
bathin yang terumus dalam kalimat “rame ing gawe sepi ing pamrih”. Ungkapan ini
nampak sederhana tapi mengandung makna yang sangat dalam, terutama berkenaan
dengan paham kerja di atas. Secara teoritis, paham kerja ngayah ini
dilihat dari pemikir K. Bertnes (Etika,1997:211-212) akan mengandung dua
konskuensi etik yaitu Etika keutamaan dan etika kewajiban.
Etika keutamaan yang berabad-abad telah dikemukan oleh
Sokrates, Plato dan Aristoteles pada dasarnya berorientasi pada “being
manusia”, dengan rumusan “what kind of person should I be” (saya harus menjadi
orang yang bagaimana). Sedang etika kewajiban yang dikembangkan oleh David
Hume, dan Kant bagi kehidupan zaman modern, pada prinsipnya berorientasi pada
“doing manusia” dengan rumusan “what should I do” (saya harus mengerjakan apa?)
Rumusan ini bagi sosok manusia Hindu lebih jauh diperdalam
dalam pemahaman “kharisma” yang di sebut “Taksu”. Konsep ini spiritual taksu
menjadi dasar baik dalam representasi paham kerja yang mengacu pada being
maupun doing manusia. konsep ini tidak semata-mata memberi pergulatan
teknik, tapi juga religius yang pengayan dan pendalaman atas nuansa
spiritual dan theologisnya tentu berbaris pada aktivitas NGAYAH.
Dalam tatanan inilah kegiatan ngayah secara filosofis adalah
upaya yang automatically memiliki hakikat “kebebasan eksistensial ini, seperti
di sindir di dalam lontar Singhalanggyala Parwa, bahwa tidak jatuh dari langit
yang dinyatakan : “tan hanang wastu tan palalayan” (tiada anugrah
tanpa suatu usaha sungguh-sungguh untuk menggapai-Nya.
1.2
Degradasi Minat Ngayah di Desa Selat Dusun Gambuh
Akibat Dampak Arus Globalisasi.
Desa selat merupakan desa yang mayoritas
hindu penduduknya, bisa dibilang desa ini adalah desa yang sudah maju, karena
di desa ini sarana dan prasarana pendidikan cukup memadai, SD, SMP, dan SMA
sudah lama ada dalam desa selat khususnya di dusun gambuh ini. Masyarakat desa
ini hampir 89% petani dan sisanya merupakan PNS dan Nelayan. Di dalam desa
selat khususnya di dusun gambuh sejak dahulu sudah mengenal ngayah, setiap
tahun, maupun setiap hari-hari menjelang upacara besar agama dalam pura-pura
tertentu penduduk desa selat dusun gambuh ini melakukan hal tersebut. Akan
tetapi semenjak memasuki arus globalisasi, konsep ngayah pada desa selat ini
semakin hari semakin berkurang, itu dikarenakan:
1.
Penduduk desa
selat dusun gambuh pola pikirnya untuk masa yang sekarang berpacu pada
pekerjaan yang memberikan hasil
2.
Akibat arus
globalisasi penduduk atau masyarakat sifat ke-egoan dari masing-masing individu
mulai muncul
3.
Munculnya sifat
acuh tak acuh akibat globalisasi dengan mementingkan kepentingan sendiri
daripada kepentingan orang lain atau bersama.
pendapat
orang-orang tentang ngayah itu hanya pekerjaan yang membuang-buang waktu,
walaupun sudah dikenai denda sampai berlipat ganda atau istilahnya dalam bahasa
bali di desa selat dusun gambuh di sebut dengan “ngampel/nikel” tetapi malah
bersikap biasa-biasa saja dan bisa dibilang konsep dalam pikiran mereka adalah
ngayah bisa dibayar dengan uang. Kendati dalam masyarakat memiliki problema
seperti itu seharusnya pihak adat yang terkait dalam pelaksanaan ngayah harus
memberikan sanksi yang ketat dan tegas,
tidak hanya peran desa adat saja akan tetapi juga peran penyuluh agama
agar memberikan pemahaman yang mendalam bagi masyarakat tentang konsep ngayah
yang positif dan tentunya kita sebagai
umat hindu juga harus membangkitkan semangat dalam diri bahwa ngayah merupakan
budaya asli bali dan umat hindu yang seharusnya patut kita lestarikan guna
memerikan kehidupan harmonis dan sejahtra.
Simpulan
Berdasarkan
Paparan Materi Yang Berjudul Degradasi Budaya Ngayah Akibat Arus
Globalisasi Di Desa Selat Dusun Gambuh Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng
yang telah dipaparkan dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1.
Secara
harfiah ngayah berarti: melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990,dikutip dalam seabass86.wordpress.com)
2.
Ngayah
menjadi gejala religio-kultural (Kebudayaan beragama) yang dengan jelas dapat
diamati dalam masyarakat bersangkutan
3.
Refleksi
ethos ngayah dalam kontek budaya global ini dapat dilakukan dalam berbagai
bidang kehidupan. Dengan catatan, bahwa segala aktivitas yang dilakukan
oleh manusia Hindu itu dilandasi “Jiwa Dasyam” yang tulus dan
ikhlas kepada Ista Dewata (Hyang Widhi dalam segala perwujudannya sebagai
SAGUNA BRAHMAN, atau pun dalam ketidakberwujudannya sebagai NIRGUNA BRAHMAN
yang dipuja/puji sebagai satu-satunya perlindungan).
4.
Ngayah
memiliki dampak positif yaitu mampu mempersatukan masyarakat secara tidak
langsung dengan konsep sederhana berkerja bersama tanpa pamrih.
Daftar pustaka
http://seabass86.wordpress.com/2009/05/07/pengertian-budayadan-asal-usul-kebudayaan-serta-macam-macam-kebudayaan/
16 oktotber 2012
Bhagawadgita ll.47,dikutip dalam seabass86.wordpress.com
kamus Bali-Indonesia,1990,dikutip dalam seabass86.wordpress.com, pengertian
budaya dan asal-usul kebudayaan
K. Bertnes (Etika,1997:211-212) dikutip dalam seabass86.wordpress.com,
pengertian budaya dan asal-usul kebudayaan
Good post,, Mas Broowhh...
BalasHapus