NASKAH MIMBAR AGAMA HINDU
PENGISI ACARA
|
: PEMBIMBING MASYARAKAT HINDU
|
|
KANWIL KEMENTERIAN AGAMA
|
||
PROVINSI SULAWESI UTARA
|
||
HARI/TANGGAL
|
: 9
JULI 2010
|
|
JUDUL
|
: MAKNA DAN TATA PERSEMBAHYANGAN
|
|
WAKTU
|
:
18.00 - 1830
|
|
DIBAWAKAN OLEH
|
:
NI WAYAN ASRYANINGSIH, S.Ag
|
Om Swastyastu,
Saudara-saudara pendengar siaran
Radio Republik Indonesia Programa satu Stasiun Manado, selamat malam dan salam
berbahagia kita berjumpa kembali dalam siaran keagamaan Mimbar Agama Hindu,
yang diselenggarakan atas kerjasama antara RRI Manado bersama Pembimbing
Masyarakat Hindu Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Utara.
Saudara-saudari umat sedharma yang
berbahagia dimanapun berada yang dapat mendengarkan siaran kami, adapun judul
mimbar yang akan dibawakan pada saat ini adalah :
MAKNA DAN TATA CARA PERSEMBAHYANGAN
Umat sudharma yang berbahagia
selamat rahina tilem sasih karo pada hari jni, umat sedharma kita sebagai umat
beragama sudah tidak asing lagi mendengar istilah sembahyang dan banyak sekali
yang telah mendifinisikan kata sembahyang itu.
Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang.
Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha dalam Agama Hindu
meliputi: (1) Satya, (2) Rta, (3) Tapa, (4) Diksa, (5) Brahma dan (6) Yajna.
Dari keenam unsur srdaha di dalam Agama Hindu menurut kitab Atharwa Weda itu,
dua ajaran terakhir termasuk ajaran sembahyang (Bajrayasa, Arisufhana &
Goda 1981:12).
Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu: (1) Sembah yang
berarti sujud atau sungkem yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan
tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran baik dengan
ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran. (2) Hyang
berarti yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13).
Umat sedharma yang berbahagia, di dalam bahasa sehari-hari
kata sembahyang kadang-kadang disebut “muspa” atau “mebhakti” atau “maturan”.
Disebut “muspa” karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan
persembahan kembang (puspa). Disebut “mebhakti” karena inti dari persembahan
itu adalah penyerahan diri setulus hati tanpa pamrih kepada Hyang Widhi.
Demikian pula kata “maturan” yang artinya mempersembahkan apa saja yang
merupakan hasil karya sesuai dengan kemampuan dengn perasaan yang tulus ikhlas,
seperti bunga, buah-buahan, jajanan, minuman dan lain-lain (Bajrayasa,
Arisufhana & Goda 1981:13). Mangku Linggih, pemangku di Pura Parahyangan
Jagat Kartta Gunung Salak Bogor, menambahkan makna maturan sebagai wujud syukur
atas rejeki yang diberikan Hyang Widhi, sehingga kita wajib
mempersembahkan/menghaturkan pemberian beliau terlebih dahulu. Setelah
sembahyang baru kita “ngelungsur (prasadam)” apa yang telah kita haturkan,
seperti canang, buah-buahan, dan sebagainya.
Manfaat
Bersembahyang
Menurut Ketut Wiana (2005:49) salah satu manfaat sembahyang
adalah untuk memelihara kesehatan. Selain pikiran menjadi jernih, sikap-sikap
sembahyang seperti asana (padmasana, siddhasana, sukhasana, dan bajrasana)
membuat otot dan pernafasan menjadi bagus.
Selain untuk kesehatan, bersembahyang dan berdoa juga
mendidik kita untuk memiliki sifat ikhlas karena apa yang ada di dalam diri dan
di luar diri kita tidak ada yang kekal, cepat lambat akan kita tinggalkan atau
berpisah dengan diri kita. Keikhlasan inilah yang dapat meringankan rasa
penderitaan yang kita alami karena kita telah paham benar akan kehendak Hyang
Widhi. Bersembahyang juga dapat menentramkan jiwa karena adanya keyakinan bahwa
Tuhan selalu akan melindungi umatNya.
Perbudakan materi juga dapat diatasi dengan bersembahyang
karena orang akan dapat melihat dengan terang bahwa harta benda harus dicari
dengan Dharma untuk melaksanakan Dharma. Sembahyang dengan tekun akan dapat
menghilangkan rasa benci, marah, dendam, iri hati dan mementingkan diri sendiri,
sehingga meningkatkan cinta kasih kepada sesama. Membenci orang lain sama saja
dengan membenci diri sendiri karena Jiwatman yang ada pada semua makhluk adalah
satu, bersumber dari Tuhan, seperti yang diajarkan dalam ajaran Tat Twam Asi.
Kemudian dengan sembahyang kita dimotivasi untuk melestarikan alam karena
bersembahyang membutuhkan sarana yang berasal dari alam, seperti bunga, daun,
buah, sumber mata air, dan sebagainya.
Persiapan
Sembahyang
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan
batin. Persiapan lahir seperti pakaian, bunga, dupa, sikap duduk, pengaturan
nafas dan sikap tangan. Sedangkan persiapan bathin adalah ketenangan dan
kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang
(Sujana & Susila, 2002:27-28) adalah sebagai berikut:
1.
Asuci laksana, yaitu membersihkan badan dengan mandi.
2.
Pakaian, hendaknya memakai pakaian sembahyang yang
bersih serta tidak mengganggu ketenangan
pikiran dan sesuai dengan Desa Kala Patra (waktu, tempat dan keadaan)
3.
Bunga dan Kawangen, yaitu lambang kesucian sehingga
diusahakan memakai bungan yang segar, bersih dan harum. Jika dalam
persembahyangan tidak ada kawangen, maka dapat diganti dengan bunga. kawangen
berasal dari kata kewangi (keharuman) yang menunjukkan cinta harum kita kepada
Hyang Widhi. Beliau juga menambahkan bahwa kawangen juga menyimbolkan alam
bhuana agung, seperti bulan, matahari dan bintang. Bentuknya yang segitiga
menunjukkan apa yang kita mohon menuju pada diri kita.
4.
Dupa, yaitu simbol Hyang Agni, saksi dan pengantar
sembah kita kepada Hyang Widhi.
5.
Tempat duduk hendaknya tidak menggangu ketenangan untuk
sembahyang dan diusahakan beralaskan tikar dan sebagainya. Arah duduk adalah
menghadap pelinggih.
6.
Sikap duduk dapat dipilih sesuai Desa Kala Patra dan
tidak mengganggu ketenangan hati. Ada empat yaitu padmasana, siddhasana,
sukhasana, dan bajrasana.
7.
Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang adalah
“cakupang kara kalih”, yaitu kedua telapak tangan dikatupkan diletakkan di
depan ubun-ubun. Bunga atau kawangen dijepit pada ujung jari.
Urutan Sembahyang
Sebelum kita masuk ke areal Pura hendaknya “melukat”
terlebih dahulu dengan memercikkan tirtha kepada diri kita, sebagai simbol
menyucikan diri dan mohon ijin secara niskala. umat hendaknya masuk ke Pura
melalui pintu sebelah kiri dan keluar menuju pintu sebelah kanan karena harus
sesuai dengan arah perputaran waktu yang selalu maju.
Sebelum melaksanakan Panca Kramaning Sembah hendaknya
melaksanakan Puja Trisandya. “Dalam melakukan Puja Trisandya baik sendirian
maupun berkelompok hendaknya kita berkonsentrasi dengan baik, mengikuti desah
nafas kita dengan halus dan pelan. Sepanjang mampu kita bernafas lantunkanlah
sloka-sloka tersebut dengan lemah lembut. Kalau kita melantunkan sloka dengan
pikiran, maka mantram tersebut seperti terkejar-kejar atau belomba-lomba dan
tidak berakhir dengan bersamaan”.
Setelah melakukan Puja Trisandya, kita lanjutkan dengan
melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang bermakna (Bajrayasa, Arisufhana &
Goda 1981:29) sebagai berikut:
1.
Sembah pertama dengan tangan kosong (puyung) yang
intinya bertujuan untuk memohon kesucian dan memusatkan pikiran.
2.
Sembah kedua, ketiga dan keempat dengan memakai bungan
dan kawangen dengan tujuan penyampaian rasa hormat kepada Tuhan, penyampaian
hormat kepada sifat wujudNya dalam segala manifestasiNya dan kepada para Dewa,
serta penyampaian permohonan maaf dan permohonan anugrah.
3.
Sembah kelima, yaitu sembah tangan kosong yang
merupakan sembah penutup sebagai rasa terima kasih atas rahmatNya dan
mengantarkan kembali ke alam gaib.
Setelah melaksanakan
persembahyangan, umat dipercikkan tirtha wangsuh Ida Bhatara. Tirta ini
dipercikkan 3-7 kali di kepala, 3 kali diminum dan 3 kali mencuci muka
(meraup). Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati umat menjadi bersih dan
suci. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan
kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri (Sujana & Susila, 2002:31)
Kemudian mawija atau mabija dilakukan setelah selesai
metirtha yang merupakan rangkaian terakhir dari suatu persembahyangan. Wija
atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana. Bila dapat
diusahakan beras galih, yaitu beras yang utuh tidak patah (aksata). Wija atau
bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Jadi, mewija
mengadung makna menumbuh kembangkan benih ke-Siwaan itu di dalam diri umat
(Sujana & Susila, 2002:31-32).
Melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang dipimpin oleh
Pinandita, hendaknya umat tidak ikut me-mantram. Hal ini dianalogikan bahwa
Pinandita itu seperti supir bus, sedangkan umat adalah penumpang. Sopir akan
mengantarkan penumpangnya sampai tempat tujuan atau terminal. Jika penumpang
juga ikut menyetir akan timbul kegaduhan. Sehingga, persembahyangan tidak
menjadi tenang dan menggangu umat lain yang ingin mengadu masalah hidup kepada
Hyang Widhi dan memohon sinar suci-Nya dan tuntunan-Nya menghadapi masalah.
Namun, ikut me-mantram tidak dilarang karena menurut Mangku Gede Darsa bahwa
mungkin umat itu tidak sedang dalam masalah atau ingin belajar menghapalkan
mantram tersebut, asal tidak mengganggu konsentrasi umat lain yang sedang
sembahyang.
Sesungguhnya begitu banyak makna yang terkandung dalam
persembahyangan, tidak hanya sekedar “nyakupang tangan” dan “ngelungsur”.
Semoga ulasan sederhana mengenai makna dan tata cara persembahyangan umat Hindu
dapat bermanfaat bagi umat seDharma. dan akhir kata saya ucapkan paramasantih …
Om
santih santih santih Om
sumber : http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&ved=0CEQQFjAC&url=http%3A%2F%2Fsulut.kemenag.go.id%2Ffile%2Fdokumen%2Fartikelasri2.pdf&ei=DLVOUf7KJ8nVrQeJ04CQBA&usg=AFQjCNETzWns0GpbjTbpVlmNkLa5H3xEuQ&sig2=JaBe3FBjLGfjewD2F0_GQQ&bvm=bv.44158598,d.bmk
0 komentar:
Posting Komentar