PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Harold
H. Titus dalam (Rasyidi,1984 :254) menyebutkan bahwa Sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan tidak terlepas dari sejarah perkembangan filsafat ilmu, sehingga
muncullah ilmuan yang digolongkan sebagai filosof dimana mereka menyakini
adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu. Filsafat ilmu
yang dimaksud di sini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari berfikir
radikal, sistematis dan universal. Oleh karena itu, Filsafat ilmu hadir sebagai
upaya menata kembali peran dan fungsi Iptek sesuai dengan tujuannya, yakni
mempokuskan diri terhadap kebahagian umat manusia.
Ilmu pengetahuan
yang merupakan produk kegiatan berpikir manusia adalah wahana untuk
meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang
diperolehnya. Proses penerapan itulah yang menghasilkan peralatan-peralatan dan
berbagai sarana hidup seperti kapak dan batu di zaman dahulu hingga peralatan
komputer di zaman sekarang ini, serta alat-alat yang lebih canggih (mutakhir)
lagi untuk masa-masa mendatang.
(Suriasumantri,1991:
1) Meskipun demikian, pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh
pengetahuan tetap didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni; apa yang ingin
diketahui, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan bagaimana nilai
pengetahuan itu. Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan
ber-kenaan dengan aksiologi. Karena itu menarik untuk dikaji apa yang dikandung
dalam ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan penciptaan alam semesta meurut
Rg.Veda dan kaitannya dengan aksiologi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari pemaparan
latar belakang diatas penulis dapat mengambil suatu rumusan masalah, yaitu :
1. Apa
pengertian dari aksiologi?
2. Bagaimana
Euthanasia Menurut Perspektif Aksiologi?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari pemaparan
rumusan masalah diatas penulit dapat mengambil suatu tujuan dalam penulisan,
yaitu :
1. Untuk
mengetahui pengertian dari aksiologi
2. Untuk
Pandangan Euthanasia Menurut Perspektif aksiologi
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan
makalah ini adalah sebagai pemenuhan mata kuliah aksiologi pada semester VI dan
juga sebagai penambah wawasan suatu ilmu pengetahuan dalam kasus dimasyarakat
seperti Euthanasia Menurut Perspektif Aksiologi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa
Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori
atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan
ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya
etika. Dalam Encyclopedia of Philosophy(dalam Amsal:164) dijelaskan aksiologi
disamakan dengan value and valuation :
1. Nilai
digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas
mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai
sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai,
seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai
juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau
dinilai.
Dari definisi
aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah
mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai
yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
Aksiologi ilmu
terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap
kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi
berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik
material (Koento, 2003: 13).
Jadi, aksiologi
adalah teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi
:
1. Menurut
Suriasumantri (1990:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
2. Menurut
Wibisono (dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak
ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan
penggalian, serta penerapan ilmu.
3. Scheleer
dan Langeveld (Wiramihardja, 2006: 155-157) memberikan definisi tentang
aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology,
yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan
dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.
4. Langeveld
memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan
estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan
perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan
penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.
5. Kattsoff
(2004: 319) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki
hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
6. Menurut
Bramel (dalam Amsal 2009: 163). Aksiologi terbagi tiga bagian :
a) Moral
Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
etika.
b) Estetic
expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
c) Socio-political
life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social
politik.
2.2 Pandangan Euthanasia Perspektif
Aksiologi
Sudah merupakan fitrah manusia selalu
ingin hidup sehat, baik fisik maupun mental. Namun keinginan itu tidak selalu
terpenuhi, karena dalam hidupnya, manusia terkadang sakit atau menderita suatu
penyakit. Ada yang menderita penyakit yang ringan dan mudah disembuhkan,
dan ada yang menderita penyakit yang berat dan sukar disembuhkan. Orang-orang
yang menderita suatu penyakit yang berat, ada yang sabar dan tabah serta tidak
berputus asa dalam menghadapinya dan disertai pula dengan usaha untuk menyembuhkannya.
Namun tidak sedikit pula yang tidak sabar dan tabah, bahkan ada yang berputus
asa dalam menghadapi penyakitnya. (Huzaimah Tahido Yanggo.2009:103)
A.
Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara etimologi berasal dari
bahasa yunani “eu” yang berarti normal atau baik, dan “thanatos” yang artinya
mati.(Waluyadi. 2005: 125) Berdasarkan penggalan katanya, euthanasia berarti
kematian secara baik atau mudah tanpa penderitaan. Secara bahasa kata
euthanasia kemudian dikenal dalam dunia kedokteran dan hukum, karena pada
perkembangannya istilah ini banyak digunakan dalam istilah-istilah hukum,
terutama pada hukum pidana yang menyangkut delik pembunuhan.
Dalam kamus kedokteran dinyatakan bahwa
euthanasia adalah mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara
kematian atau menghilangkan nyawa secara tenang dan mudah untuk menamatkan
penderitaan.(J.Gunawandi, 2007:246) Dalam ensiklopedi nasional, Euthanaisa
berarti suatu tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang agar
terbebas dari kesengsaraan yang dideritanya. (Ensikolpedi Nasional Indonesia,
H. 226)
B.
Sejarah perkembangan Euthanasia
Eutahanasia sebenarnya bukan masalah
baru tetapi sudah lama dikenal orang bahkan sudah sering dilaksanakan. Pada
zaman romawi dan mesir kuno euthanasia pernah dilakukan oleh dokter Olympus
terhadap diri ratu Cleopatra dari mesir atas permintaan sang ratu, walaupun
sebenarnya ia tidak sakit. Cleopatra (60-30 SM) yang seksi dengan kecantikannya
yang fantastis dapat menundukkan dua orang pria perkasa pada zamannya yaitu
Yulius Caesar dan Markus Antonius penguasa Imperium Romawi. Cleoptara mempunyai
ambisi yang sangat besar untuk menaklukkan dan menguasai dunia. Tetapi ambisinya
itu tidak tercapai karena orang yang diharapkan akan memperjuangkannya melalui
senat yaitu Yulius Caesar mati sebelum sidang dimulai oleh kelompok yang antara
lain terdiri dari anak angkatnya sendiri yaitu Brutus. Dan orang kedua yang
menggantikan Yulius Caesar yaitu Markus Antonius yang juga bertekuk lutut
kepada sang ratu ia gagal pula meraih kemenangan dalam pertempuran melawan bala
tentara Oktavianus. Cleopatra yang merasa kecewa dan putus asa karena ambisi
dan impiannya tidak terlaksana, akhirnya ia meminta kepada dokter Olympus untuk
melakukan eutahanisa terhadap dirinya. Dengan patukan ular beracun dari padang
pasir yang disiapkan oleh Olympus, Cleopatra akhirnya pada usia ke 30 tahun
menghembuskan nafasnya yang terakhir. (Ilyas Efendi,1989: 94)
Kasus Oskar Aged, seorang wanita yang
sudah berusia lanjut, ia berada dalam keadaan tersiksa akibat penyakitnya yang
sulit disembuhkan. Para dokter menyatakan bahwa Oskar Aged akan menemui ajalnya
akibat penyakit yang dideritanya. Dan iapun sadar bahwa dirinya akan menjadi
jasad yang terbaring terus menerus dengan tiada berdaya. Sebelum maut merenggut
nyawanya ia akan terus menerus merasakan sakit yang tiada terhingga. Sedangkan
semua pengobatan yang dilakukan oleh dokter hanya untuk meringankan rasa sakit
dalam waktu tertentu. Saat kematian sudah diambang pintu ia sadar dan
mengajukan permohonan kepada dokter yang merawatnya yaitu Dr. E.M. Fathy supaya
mengakhiri hidupnya melalui suntikkan. Melalui permohonan yang mengharukan ini,
Dr.E.M. Fathy mengabulkan permohonan tersebut.
Kasus ini terjadi di Manilla dan telah
disidangkan pada tanggal 22-23 Agustus 1977. Sidang tersebut dihadiri oleh para
hakim dari berbagai Negara. Dalam siding tersebut ditetapkan bahwa hokum tidak
mengenal hak manusia untuk mati. Baik perbuatan Oskar Aget yang meminta
hidupnya diakhiri digolongkan sebagai tindak pidana bunuh diri. Dan sikap
Dr.E.M. Fathy yang mengakhiri hidup pasiennya tergolong tindakkan pembunuhan
sekalipun dilakukan atas permintaan pasiennya sendiri.( Djoko Prakoso dan
Djaman Andhi Nirwanto,1984:60)
C. Faktor-faktor penyebab terjadinya
Euthanasia
1.
Faktor kemanusiaan
Faktor
ini dilakukan oleh seorang dokter baik atas permintaan pasien atau keluarganya
atau kehendak dokter itu sendiri. Hal ini dilakukan oleh seorang dokter karena
merasa kasihan terhadap penderitaan pasiennya yang berkepanjangan yang secara
medis sulit untuk dismebuhkan. Dengan demikian seorang dokter mengabulkan
permintaan pasiennya.( Kartono Muhammad, 1984:6)
2.
Faktor Ekonomi
Faktor
yang kedua ini diakui oleh wakil ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) Dr.Kartono Muhammad bahwa mengenai Euthanasia pasif banyak
dilakukan atas permintaan keluarga penderita yang tidak sampai hati melihat
keluarganya terbaring berlama-lama di rumah sakit. Oleh karena itu mereka memilih
membawa pulang pasien dengan harapan biarlah ia meninggal di tengah familinya.
.( Kartono Muhammad, 1984:6)
D.
Klasifikasi Euthanasia
Pada umumnya eutahansia dikalsifikasikan
dalam dua jenis. Yaitu: Euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Menurut prof Suparovic
mengungkapkan klasifikasi euthanasia sebagai berikut: (Crisdiono M.
Achadiat,2007: 184-185)
1.
Euthanasia pasif. Yakni mempercepat
kematian dengan cara menolak memberikan pertolongan medis atau menghentikan
proses perawatan medis yang sedang berlangsung. Misalnya dengan memberikan
antobiotik pada penderita radang paru-paru berat, pemberian obat-obatan dengan
dosis tinggi dilakukan untuk mempercepat proses penghentian fungsi anatomi
tubuh yang mendukung kehidupan manusia.
2.
Eutahanasia aktif. Yakni mempercepat
kematian dengan mengambil tindakan yang baik secara langsung maupun tidak
langsung mengakibatkan kematian, misalnya dengan memberikan tablet sianida atau
menyuntikkan zat-zat yang mematikan kepada tubuh pasien. Tindakan ini langsung
ditujukan untuk membunuh pasien, sepertinya halnya pada hokum suntik mati,
tindakan ini terkesan memperlakukan pasien sebagai pelaku tindak criminal.
3.
Euthanasia sukarela. Yakni mempercepat
kematian atas persetujuan atau permintaan pasien.
4.
Eutahanasia tidak suka rela. Yakni
mempercepat kematian tanpa persetujuan atau permintaan pasien.
5.
Eutahanasia non voluntary yakni
mempercepat kematian atas sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan
melalui pihak ketiga misalnya keluarga atau keputusan pemerintah. Biasanya
terjadi pada kasus penderita penyakit yang menular.
D.
Pandangan Euthanasia Menurut Aksiologi
Aspek Aksiologi
Ilmu Hukum dalam Persoalan Euthanasia Aksiologis merupakan cabang filsafat yang
membahas tentang nilai (value) (lihat Suriasumantri, 1990: 231) sebagai imperative
dalam penerapan ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan yang menampakkan diri
dalam tiga dimensi yaitu ilmu sebagai masyarakat, ilmu sebagai proses dan ilmu
sebagai produk (Fadjar, 2004: 5). Ilmu sebagai produk adalah bebas nilai, namun
ilmu sebagai masyarakat dan sebagai proses senantiasa terikat oleh nilai
sehingga harus tepat nilai, tepat guna dan tepat sasaran. Nilai tersebut dalam
konteks filsafat adalah meliputi keindaha (estetika), kebaikan (etika),
kebenaran (logika) dan bahkan kesakralan (agama) (Supadjar dalam Fadjar,
2007:50.
Dalam konteks
aspek aksiologis ilmu hukum, salah satu materi kontroversial yang paling banyak
menyita perhatian kaum intelektual sejak dulu hingga kini dan dapat dipastiakan
juga untuk jangka waktu ke depan adalah masalah “euthanasia” atau hak untuk
mati. Kontroversi yang panjang tersebut melibatkan terutama kaum filosof,
teolog, ahli kedokteran dan ahli hukum. Kaum filosof dan teolog misalnya,
cenderung menganggap euthanasia sebagai pilihan manusia yang tidak dapat dibenarkan.,
sebaliknya para ahli kedokteran dan hukum, paling tidak menurut pandangan yang
lebih progresif relatif lebih dapat menerimanya.Silang pendapat tersebut
memperlihatkan kepada kita, betapa komplek sesungguhnya permasalahan itu
kemudian menimbulkan konflik-konflik nilai sebagai konsekuensi dari implikasi
sosial dan etika yang disandangnya. Menyinggung soal etika, berarti kita
berbicara tentang baik atau buruk, susila dan asusila. Benar, bahwa agamapun
berbicara soal yang sama, namun ukuran yang dipakai berbeda dengan etika. Etika
sebagai bagian dari filsafat menghendaki ukuran yang umum dan universal.
Kendati antara agama dan etika dapat dibedakan, namun sesungguhnya kedua obyek
tersebut tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam menyoroti permasalahan
euthanasia yang menjadi topik tulisan ini. Karena itulah membicarakan
euthanasia sebagai aspek aksiologis ilmu hukum, maka selain dimensi hukum dan
etika, dimensi agama dengan nilai kesakralannya (sekalipun hanya sekilas) tidak
dapat diabaikan begitu saja. Menyadari luasnya cakupan etika, maka dibatasi
pembahasannya hanya pada etika dalam bidang kedokteran dan hukum saja.
Bagaimanapun juga dua lapangan inilah yang paling banyak terlibat dalam
permasalahan euthanasia tersebut. Berdasarkan latar belakang itulah pembahasan
selanjutnya akan diarahkan kepada masalah pokok, yaitu bagaimana euthanasia
dalam dimensi hukum dan etika? Tentu saja dimensi hukum yang dimaksud sedikit
banyak berpijak pada kundisi di Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
Terminologi Euthanasia dan Pengertiannya Istilah “Euthanasia” secara etimologi
berasal dari kata “eu” yang berarti baik tanpa derita, dan “Thanatos” yang
berarti mati, jadi secara sederhana euthanasia dapat diartikan sebagai bentuk
kematian dengan tanpa mengalami penderitaan (Martha, 1988: 1). Dalam berbagai
kepustakaan ditemukan sebutan lain untuk euthanasia seperti “mercy death”,
“mercy killing”, “hak untuk mati”, “kemerdekaan untuk mati”, “mati secara
terhormat”, “hak untuk menolak pengobatan”, “pembunuhan diri dengan bantuan”
dan “bunuh sayang”. Namun diantara sekian banyak istilah tersebut, euthanasia
merupakan sebutan yang paling mapan (Rahardjo, 1989: 1).
Dalam The
Advanced Learner’s Dictionary of Current English, euthanasia diartikan sebagai
(bringing about of) easy and painless death (for persons suffering from an
incurable and painful disease). Blacks Law Dictionary mendefinisikan euthanasia
sebagai the act or practice of painlessly putting to death person suffering
incurable and distressing disease as an act of mercy. Batasan-batasan tersebut
mirip dengan rumusan dalam kode etik kedokteran (kodeki) Indonesia yang
menyatakan euthanasia adalah perbuatan untuk mengakhiri kehidupan seorang
pasien, yang menurut ilmu kedokteran tidak akan sembuh lagi. (Adji, 1986: 130).
Demikian pula
dengan rumusan yang diberikan oleh euthanasia studi group dari KNMG (semacam
IDI) di negeri Belanda, mengartikan euthanasia sebagai kesengajaan untuk tidak
melakukan sesuatu (nalaten) guna mememperpanjang hidup seseorang pasien atau
sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang
pasien, dan semua itu dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri (Ameln,
1984 : 4).
Tindakan
euthanasia terjadi bilamana dokter mengambil nyawa (mematikan) si penderita
(pasien) atas permintaan yang bersangkutan, yang menderita penyakit yang tidak
dapat disembuhkan secara medis, atau merasa sakit secara fisik akibat penyakit
yang dideritanya, yang tidak dapat disembuhkan secara medis (sahetapy, 1989:
2). Pada perkembangan selanjutnya pengertian euthanasia mengalami modifikasi
disana-sini, disertai bobot sesuai dengan aspek tinjauannya. Dari beberapa
batasan tersebut, para ahli lalu membedakan euthanasia dalam 2 kategori.
Dilihat persetujuan pihak korban, dikenal adanya euthanasia sukarela dan tidak
sukarela (Vrijwillige-Onvrijwillige Euthanasia). Euthanasia sukarela adalah
suatu penerapan euthanasia secara sungguh-sungguh (Uitdrukkelijik en ernsting)
dengan persetujuan dari pihak korban dan sebaliknya pada euthanasia tidak
sukarela, adalah yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak korban.
Dari kedua kategori tersebut yang dekat dengan rumusan pasal 344 KUHP adalah
jenis pertama (Adji, 1989: 131).
Di samping
kategori berdasarkan persetujuan tersebut, masih dikenal lagi adanya euthanasia
aktif (positif) dan pasif (negatif). Kategori ini lebih banyak didasarkan pada
bentuk tindakan dokter. Euthanasia aktif adalah bila si pelaku (in casu dokter)
mengusahakan agar korban cepat menemui ajalnya dengan cara yang tidak
menimbulkan sakit, sehingga orang tersebut terbebas dari penderitaan yang
berkelanjutan atau berkepanjangan, yang disebabkan oleh penyakit yang tidak
tersembuhkan lagi (Jakob, 1989: 12). Adapun teknik yang digunakan pelaku
biasanya memberikan obat-obatan atau suntikan tertentu kepada korban. Sedangkan
euthanasia pasif adalah tindakan sang pelaku dengan menghentikan segala usaha
yang telah dijalankan guna menyembuhkan korban. Dengan penghentian tersebut,
diharapkan korban lebih cepat meninggal dan berarti pendritaannya karena penyakit
yang tidak sembuh-sembuh itupun akan cepat berlalu.
Berpijak dari pembagian itu, A.M. Capron
(1983) dalam Encyclopedia of Crime and Justice, kemudian memerinci euthanasia
dalam epat jenis yaitu :
1. Aktif atas pesetujuan korban (active
voluntary euthanasie)
2. Pasif atas pesetujuan korban (passive
voluntary euthanasie)
3. Aktif tanpa persetujuan korban
(active nonvoluntary euthanasie)
4. Pasif tanpa persetujuan korban
(passive nonvoluntary euthanasie)
Masalah
euthanasia sebenarnya sudah dipersoalkan orang seiring dengan berkembangnya
ilmu kedokteran. Di sisi lain, euthanasia pun tidak dapat dipisahkan dengan
persoalan agama, filsafat dan hukum, khususnya dalam menyoroti esensi hidup dan
pandangan mereka terhadap perbuatan bunuh diri. Dalam sejarah agama Kristen
misalnya, dikenal adanya pembuangan bagi orang-orang yang menderita suatu
penyakit tertentu seperti lepra atau kusta, para penderitanya diasingkan secara
khusus di pulau atau tempat terpencil. Di tempat pembuangan tersebut, di
tengah-tengah ketiadaan fasilitas medis, hampir dipastikan para penderita tadi
hanya menunggu saat ajal menjemput mereka. Tetapi seiring dengan kemajuan ilmu
kedokteran, pandangan agama terhadap para penderita penyakitpun mulai berubah.
Banyak penyakit yang semula dipandang incurable ternyata dapat disembuhkan.
Kemajuan ilmu kedokteran telah membawa banyak perbaikan terhadap kondisi
kesehatan manusia. Bersamaan dengan itu, kesadaran manusia untuk mempertahankan
hidupnya juga semakin tinnggi. Kendati demikian, seberapapun usaha manusia
untuk mempertahankan hidupnya agar semakin tinggi, namun kematian tetap harus
dihadapi setiap mahluk yang benyawa. Bukankah dengan arif agama mengajarkan
bahwa tiap mahluk yang bernyawa akan mati juga? Keinginan untuk mempertahankan
hidup dan kenyataan bahwa manusia harus menghadapi maut, menjadi bahan
perdebatan yang sengit. Para ahli kedokteran seringkali dihadapkan pada
kenyataan bahwa si pasien (secara medis) tidak lagi dapat disembuhkan, atau
hanya dapat dikatakan hidup berkat bantuan alat-alat medis semata, namun di
sisi lain mereka dihadapkan pertimbangan etis apabila sengaja mengakhiri hidup
pasiennya. Di luar profesi kedokteran juga terjadi kontroversi yang tidak kalah
serunya. Berbagai kasus yang muncul di pengadilan membuktikan adanya gerakan
pendulum etika dalam menilai euthanasia ini. Menyimak pada yurisprudensi yang
ada di negeri Belanda dan Belgia, dapat diamati bahwa perkembangan euthanasia
bergerak dari sikap melarang ke sikap membolehkan. Dari putusan-putusan
pengadilan yang terkumpul antara tahun 1952 hingga tahun 1981, hampir semuanya
memandang euthanasia sebagai perbuatan kriminal. Diantara perkara euthanasia
yang dibawa pengadilan dalam kurun waktu itu, hanya satu perkara (1962) yang
memberikan putusan bebas bagi terdakwanya. Pada tahun 1973, sebuah putusan
lainnya pernah membuat persyaratan bagi seorang ahli medis untuk dapat
dilepaskan dari pemidanaan karena euthanasia. Sedangkan untuk kasus Indonesia,
sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang secara khusus menyangkut permasalahan
euthanasia. Kasus-kasus yang bersangkutan yang berkaitan dengan dunia
kedokteran biasanya lebih banyak berkenan dengan malapraktek. Konsep Etika
Etika yang
dipungut dari bahasa yunani yaitu “Ethikos” (moral) dan “Ethos” (karakter),
mencakup pengertian sebagai upaya manusia untuk menilai, atau memutuskan suatu
perbuatan atau sikap, atau bagaimana suatu perbuataan harus dilaksanakan, yaitu
perbuatan atau sikap mana yang baik dan yang buruk (Dewabrata, 1989: 4).
Sebagai ilmu, etika mencari kebaikan. Sebagai filsafat, etika mencari
keterangan (baik) yang sedalam-dalamnya, sehingga ada yang menyebut etika itu
sebagai filsafat kesusilaan (poedjawiyatno,1984 : 6).
Mengingat Pancasila
sebagai sumber etika dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum, maka
sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan euthanasia berpedoman
pada sumber tersebut. Jika mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang
mengatur euthanasia masih bersumberkan kepada hukum warisan kolonial belanda
yaitu pasal 338, pasal 359 dan pasal 345 KUHP yang tidak secara langsung
menunjuk kepada euthanasia. Satu-satunya pasal yang agak dekat kaitannya adalah
pasal 344 KUHP. Dalam pasal 344 KUHP dikatakan barang siapa merampas nyawa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Redaksi
pasal tersebut menunjukkan adanya persamaan dengan jenis euthanasia aktif atas
persetujuan korban adanya kesukarelaan korban tersebut terlihat dari permintaanya
sendiri yang dinyatakan dengan jelas dan sungguh-sungguh. Larangan tersebut
dapat ditafsirkan sebagai larangan terhadap euthanasia dan dalam rancangan KUHP
baru larangan tersebut masih dipertahankan (Sahetapy, 1989: 4).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari pemaparan
materi diatas yang berjudul “Euthanasia
Perspektif Aksiologi”, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu :
1.
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal
dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu.
2.
Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai
yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan
sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan,
seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material.
3.
“Euthanasia” secara etimologi berasal
dari kata “eu” yang berarti baik tanpa derita, dan “Thanatos” yang berarti
mati, jadi secara sederhana euthanasia dapat diartikan sebagai bentuk kematian
dengan tanpa mengalami penderitaan
4.
Dalam pasal 344 KUHP dikatakan barang
siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama
12 tahun sebagaimana pasal yang tertuang diatas, maka secara pasti Euthanasia
dari segi pandang Norma dan etika hukum.
3.2 Saran
Berdasarkan
simpulan di atas penulis berharap segenap orang yang membaca makalah yang
sederhana ini dapat mengkritisi materi-materi yang tersaji. Penulis menyarankan
pembaca mampu membaca referensi-referensi terkait permasalahan yang tersaji
dalam makalah ini. Jika memang tulisan dalam makalah ini salah atau menyimpang
dari koridor keilmuan yang berlaku, penulis sangat mengharapkan adanya masukan
yang bersifat kontruktif.
DAFTAR
PUSTAKA
Admojo,Wihadi,
1998. KamusBahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka.
Amsal,
Bakhtiar. 2009. FilsafatIlmu. Jakarta: Rajawali pers.
Dewabrata.,MaknaKodeEtik,
Kompas 13 Mei 1989, Jakarta.
DjokoPrakosodanDjamanAndhi
Nirwanto,1984. Euthanasia hakasasimanusiadanhukumpidana, (Jakarta:Ghalia
Indonesia)
Harold H. Titus, et. al., The
Living Issues of Philosophy, diterjemahkanoleh H. M. RasyididenganjudulPersoalan-PersoalanFilsafat(Jakarta:
BulanBintang, 1984)
HuzaimahTahido
Yanggo,2009.MasailFiqhiyahKajianHukum Islam Kontemporer, (Bandung: Angkasa)
Iyas Efendi,1989.EuthanaisaRatu Cleopatra
duapuluhabadlalu, Kartini,
Jujun S. Suriasumantri.1991,
IlmudalamPerspektif (Cet. IX; Jakarta:YayasanObor Indonesia).
J.Gunawandi, Hukum Medik,2007.
(Jakarta: FakultasIlmuKedokteranUniversitas Indonesia)
J.E. Sahetapy., Euthanasia
SuatuKajianterhadapLegalitikPositivistik, Makalah seminar Regional
mahasiswahukum se DIY danJateng di UnikaAtmajaya Yogyakarta 24-25 April 1989.
Kartono
Muhammad, 1984. Euthanasia dipandangdarietikakedokteran, (Jakarta:
SinarHarapan)
L.R. Pudjawiyatna., 1984 Etika,
FilsafatTingkahLaku, BinaAksara, Jakarta
Surajiyo. 2007. FilsafatIlmudanPerkembangannya
di Indonesia.Jakarta: BumiAksara.
Suriasumantri,
Jujun S.1990. Filsafatilmu: SebuahPengantarPopuler.Jakarta:
Soetriono, & Hanafie,Rita.2007.
FilsafatIlmudanMetodologiPenelitian. Yogyakarta: Andi.PustakaSinarHarapan.
Waluyadi,2005.IlmuKedokteranKehakiman,
(Jakarta: Djambatan)
0 komentar:
Posting Komentar