Minggu, 12 Oktober 2014

Euthanasia Perspektif Aksiologi


PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Menurut Harold H. Titus dalam (Rasyidi,1984 :254) menyebutkan bahwa Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari sejarah perkembangan filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan yang digolongkan sebagai filosof dimana mereka menyakini adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu. Filsafat ilmu yang dimaksud di sini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari berfikir radikal, sistematis dan universal. Oleh karena itu, Filsafat ilmu hadir sebagai upaya menata kembali peran dan fungsi Iptek sesuai dengan tujuannya, yakni mempokuskan diri terhadap kebahagian umat manusia.
Ilmu pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir manusia adalah wahana untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penerapan itulah yang menghasilkan peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup seperti kapak dan batu di zaman dahulu hingga peralatan komputer di zaman sekarang ini, serta alat-alat yang lebih canggih (mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang.
(Suriasumantri,1991: 1) Meskipun demikian, pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan tetap didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni; apa yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan bagaimana nilai pengetahuan itu. Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan ber-kenaan dengan aksiologi. Karena itu menarik untuk dikaji apa yang dikandung dalam ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan penciptaan alam semesta meurut Rg.Veda dan kaitannya dengan aksiologi.

1.2  Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas penulis dapat mengambil suatu rumusan masalah, yaitu :
1.      Apa pengertian dari aksiologi?
2.      Bagaimana Euthanasia Menurut Perspektif Aksiologi?

1.3  Tujuan Penulisan
Dari pemaparan rumusan masalah diatas penulit dapat mengambil suatu tujuan dalam penulisan, yaitu :
1.      Untuk mengetahui pengertian dari aksiologi
2.      Untuk Pandangan Euthanasia Menurut Perspektif aksiologi

1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan mata kuliah aksiologi pada semester VI dan juga sebagai penambah wawasan suatu ilmu pengetahuan dalam kasus dimasyarakat seperti Euthanasia Menurut Perspektif Aksiologi













BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Dalam Encyclopedia of Philosophy(dalam Amsal:164) dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation :
1.      Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2.      Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3.      Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material (Koento, 2003: 13).
Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi :
1.      Menurut Suriasumantri (1990:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
2.      Menurut Wibisono (dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
3.      Scheleer dan Langeveld (Wiramihardja, 2006: 155-157) memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.
4.      Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.
5.      Kattsoff (2004: 319) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
6.      Menurut Bramel (dalam Amsal 2009: 163). Aksiologi terbagi tiga bagian :
a)      Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
b)      Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
c)      Socio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social politik.

2.2  Pandangan Euthanasia Perspektif Aksiologi
Sudah merupakan fitrah manusia selalu ingin hidup sehat, baik fisik maupun mental. Namun keinginan itu tidak selalu terpenuhi, karena dalam hidupnya, manusia terkadang sakit atau menderita suatu penyakit. Ada yang menderita penyakit yang ringan dan mudah disembuhkan,  dan ada yang menderita penyakit yang berat dan sukar disembuhkan. Orang-orang yang menderita suatu penyakit yang berat, ada yang sabar dan tabah serta tidak berputus asa dalam menghadapinya dan disertai pula dengan usaha untuk menyembuhkannya. Namun tidak sedikit pula yang tidak sabar dan tabah, bahkan ada yang berputus asa dalam menghadapi penyakitnya. (Huzaimah Tahido Yanggo.2009:103)
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara etimologi berasal dari bahasa yunani “eu” yang berarti normal atau baik, dan “thanatos” yang artinya mati.(Waluyadi. 2005: 125) Berdasarkan penggalan katanya, euthanasia berarti kematian secara baik atau mudah tanpa penderitaan. Secara bahasa kata euthanasia kemudian dikenal dalam dunia kedokteran dan hukum,  karena pada perkembangannya istilah ini banyak digunakan dalam istilah-istilah hukum, terutama pada hukum pidana yang menyangkut delik pembunuhan.
Dalam kamus kedokteran dinyatakan bahwa euthanasia adalah mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian atau menghilangkan nyawa secara tenang dan mudah untuk menamatkan penderitaan.(J.Gunawandi, 2007:246) Dalam ensiklopedi nasional, Euthanaisa berarti suatu tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang agar terbebas dari kesengsaraan yang dideritanya. (Ensikolpedi Nasional Indonesia, H. 226)
B. Sejarah perkembangan Euthanasia
Eutahanasia sebenarnya bukan masalah baru tetapi sudah lama dikenal orang bahkan sudah sering dilaksanakan. Pada zaman romawi dan mesir kuno euthanasia pernah dilakukan oleh dokter Olympus terhadap diri ratu Cleopatra dari mesir atas permintaan sang ratu, walaupun sebenarnya ia tidak sakit. Cleopatra (60-30 SM) yang seksi dengan kecantikannya yang fantastis dapat menundukkan dua orang pria perkasa pada zamannya yaitu Yulius Caesar dan Markus Antonius penguasa Imperium Romawi. Cleoptara mempunyai ambisi yang sangat besar untuk menaklukkan dan menguasai dunia. Tetapi ambisinya itu tidak tercapai karena orang yang diharapkan akan memperjuangkannya melalui senat yaitu Yulius Caesar mati sebelum sidang dimulai oleh kelompok yang antara lain terdiri dari anak angkatnya sendiri yaitu Brutus. Dan orang kedua yang menggantikan Yulius Caesar yaitu Markus Antonius yang juga bertekuk lutut kepada sang ratu ia gagal pula meraih kemenangan dalam pertempuran melawan bala tentara Oktavianus. Cleopatra yang merasa kecewa dan putus asa karena ambisi dan impiannya tidak terlaksana, akhirnya ia meminta kepada dokter Olympus untuk melakukan eutahanisa terhadap dirinya. Dengan patukan ular beracun dari padang pasir yang disiapkan oleh Olympus, Cleopatra akhirnya pada usia ke 30 tahun menghembuskan nafasnya yang terakhir. (Ilyas Efendi,1989: 94)
Kasus Oskar Aged, seorang wanita yang sudah berusia lanjut, ia berada dalam keadaan tersiksa akibat penyakitnya yang sulit disembuhkan. Para dokter menyatakan bahwa Oskar Aged akan menemui ajalnya akibat penyakit yang dideritanya. Dan iapun sadar bahwa dirinya akan menjadi jasad yang terbaring terus menerus dengan tiada berdaya. Sebelum maut merenggut nyawanya ia akan terus menerus merasakan sakit yang tiada terhingga. Sedangkan semua pengobatan yang dilakukan oleh dokter hanya untuk meringankan rasa sakit dalam waktu tertentu. Saat kematian sudah diambang pintu ia sadar dan mengajukan permohonan kepada dokter yang merawatnya yaitu Dr. E.M. Fathy supaya mengakhiri hidupnya melalui suntikkan. Melalui permohonan yang mengharukan ini, Dr.E.M. Fathy mengabulkan permohonan tersebut.
Kasus ini terjadi di Manilla dan telah disidangkan pada tanggal 22-23 Agustus 1977. Sidang tersebut dihadiri oleh para hakim dari berbagai Negara. Dalam siding tersebut ditetapkan bahwa hokum tidak mengenal hak manusia untuk mati. Baik perbuatan Oskar Aget yang meminta hidupnya diakhiri digolongkan sebagai tindak pidana bunuh diri. Dan sikap Dr.E.M. Fathy yang mengakhiri hidup pasiennya tergolong tindakkan pembunuhan sekalipun dilakukan atas permintaan pasiennya sendiri.( Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto,1984:60)
C. Faktor-faktor penyebab terjadinya Euthanasia
1.      Faktor kemanusiaan
Faktor ini dilakukan oleh seorang dokter baik atas permintaan pasien atau keluarganya atau kehendak dokter itu sendiri. Hal ini dilakukan oleh seorang dokter karena merasa kasihan terhadap penderitaan pasiennya yang berkepanjangan yang secara medis sulit untuk dismebuhkan. Dengan demikian seorang dokter mengabulkan permintaan pasiennya.( Kartono Muhammad, 1984:6)
2.      Faktor Ekonomi
Faktor yang kedua ini diakui oleh wakil ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr.Kartono Muhammad bahwa mengenai Euthanasia pasif banyak dilakukan atas permintaan keluarga penderita yang tidak sampai hati melihat keluarganya terbaring berlama-lama di rumah sakit. Oleh karena itu mereka memilih membawa pulang pasien dengan harapan biarlah ia meninggal di tengah familinya. .( Kartono Muhammad, 1984:6)
D. Klasifikasi Euthanasia
Pada umumnya eutahansia dikalsifikasikan dalam dua jenis. Yaitu: Euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Menurut prof Suparovic mengungkapkan klasifikasi euthanasia sebagai berikut: (Crisdiono M. Achadiat,2007: 184-185)
1.      Euthanasia pasif. Yakni mempercepat kematian dengan cara menolak memberikan pertolongan medis atau menghentikan proses perawatan medis yang sedang berlangsung. Misalnya dengan memberikan antobiotik pada penderita radang paru-paru berat, pemberian obat-obatan dengan dosis tinggi dilakukan untuk mempercepat proses penghentian fungsi anatomi tubuh yang mendukung kehidupan manusia.
2.      Eutahanasia aktif. Yakni mempercepat kematian dengan mengambil tindakan yang baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kematian, misalnya dengan memberikan tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan kepada tubuh pasien. Tindakan ini langsung ditujukan untuk membunuh pasien, sepertinya halnya pada hokum suntik mati, tindakan ini terkesan memperlakukan pasien sebagai pelaku tindak criminal.
3.      Euthanasia sukarela. Yakni mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien.
4.      Eutahanasia tidak suka rela. Yakni mempercepat kematian tanpa persetujuan atau permintaan pasien.
5.      Eutahanasia non voluntary yakni mempercepat kematian atas sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan melalui pihak ketiga misalnya keluarga atau keputusan pemerintah. Biasanya terjadi pada kasus penderita penyakit yang menular.
D. Pandangan Euthanasia Menurut Aksiologi
Aspek Aksiologi Ilmu Hukum dalam Persoalan Euthanasia Aksiologis merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai (value) (lihat Suriasumantri, 1990: 231) sebagai imperative dalam penerapan ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan yang menampakkan diri dalam tiga dimensi yaitu ilmu sebagai masyarakat, ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai produk (Fadjar, 2004: 5). Ilmu sebagai produk adalah bebas nilai, namun ilmu sebagai masyarakat dan sebagai proses senantiasa terikat oleh nilai sehingga harus tepat nilai, tepat guna dan tepat sasaran. Nilai tersebut dalam konteks filsafat adalah meliputi keindaha (estetika), kebaikan (etika), kebenaran (logika) dan bahkan kesakralan (agama) (Supadjar dalam Fadjar, 2007:50.
Dalam konteks aspek aksiologis ilmu hukum, salah satu materi kontroversial yang paling banyak menyita perhatian kaum intelektual sejak dulu hingga kini dan dapat dipastiakan juga untuk jangka waktu ke depan adalah masalah “euthanasia” atau hak untuk mati. Kontroversi yang panjang tersebut melibatkan terutama kaum filosof, teolog, ahli kedokteran dan ahli hukum. Kaum filosof dan teolog misalnya, cenderung menganggap euthanasia sebagai pilihan manusia yang tidak dapat dibenarkan., sebaliknya para ahli kedokteran dan hukum, paling tidak menurut pandangan yang lebih progresif relatif lebih dapat menerimanya.Silang pendapat tersebut memperlihatkan kepada kita, betapa komplek sesungguhnya permasalahan itu kemudian menimbulkan konflik-konflik nilai sebagai konsekuensi dari implikasi sosial dan etika yang disandangnya. Menyinggung soal etika, berarti kita berbicara tentang baik atau buruk, susila dan asusila. Benar, bahwa agamapun berbicara soal yang sama, namun ukuran yang dipakai berbeda dengan etika. Etika sebagai bagian dari filsafat menghendaki ukuran yang umum dan universal. Kendati antara agama dan etika dapat dibedakan, namun sesungguhnya kedua obyek tersebut tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam menyoroti permasalahan euthanasia yang menjadi topik tulisan ini. Karena itulah membicarakan euthanasia sebagai aspek aksiologis ilmu hukum, maka selain dimensi hukum dan etika, dimensi agama dengan nilai kesakralannya (sekalipun hanya sekilas) tidak dapat diabaikan begitu saja. Menyadari luasnya cakupan etika, maka dibatasi pembahasannya hanya pada etika dalam bidang kedokteran dan hukum saja. Bagaimanapun juga dua lapangan inilah yang paling banyak terlibat dalam permasalahan euthanasia tersebut. Berdasarkan latar belakang itulah pembahasan selanjutnya akan diarahkan kepada masalah pokok, yaitu bagaimana euthanasia dalam dimensi hukum dan etika? Tentu saja dimensi hukum yang dimaksud sedikit banyak berpijak pada kundisi di Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Terminologi Euthanasia dan Pengertiannya Istilah “Euthanasia” secara etimologi berasal dari kata “eu” yang berarti baik tanpa derita, dan “Thanatos” yang berarti mati, jadi secara sederhana euthanasia dapat diartikan sebagai bentuk kematian dengan tanpa mengalami penderitaan (Martha, 1988: 1). Dalam berbagai kepustakaan ditemukan sebutan lain untuk euthanasia seperti “mercy death”, “mercy killing”, “hak untuk mati”, “kemerdekaan untuk mati”, “mati secara terhormat”, “hak untuk menolak pengobatan”, “pembunuhan diri dengan bantuan” dan “bunuh sayang”. Namun diantara sekian banyak istilah tersebut, euthanasia merupakan sebutan yang paling mapan (Rahardjo, 1989: 1).
Dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, euthanasia diartikan sebagai (bringing about of) easy and painless death (for persons suffering from an incurable and painful disease). Blacks Law Dictionary mendefinisikan euthanasia sebagai the act or practice of painlessly putting to death person suffering incurable and distressing disease as an act of mercy. Batasan-batasan tersebut mirip dengan rumusan dalam kode etik kedokteran (kodeki) Indonesia yang menyatakan euthanasia adalah perbuatan untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien, yang menurut ilmu kedokteran tidak akan sembuh lagi. (Adji, 1986: 130).
Demikian pula dengan rumusan yang diberikan oleh euthanasia studi group dari KNMG (semacam IDI) di negeri Belanda, mengartikan euthanasia sebagai kesengajaan untuk tidak melakukan sesuatu (nalaten) guna mememperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua itu dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri (Ameln, 1984 : 4).
Tindakan euthanasia terjadi bilamana dokter mengambil nyawa (mematikan) si penderita (pasien) atas permintaan yang bersangkutan, yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis, atau merasa sakit secara fisik akibat penyakit yang dideritanya, yang tidak dapat disembuhkan secara medis (sahetapy, 1989: 2). Pada perkembangan selanjutnya pengertian euthanasia mengalami modifikasi disana-sini, disertai bobot sesuai dengan aspek tinjauannya. Dari beberapa batasan tersebut, para ahli lalu membedakan euthanasia dalam 2 kategori. Dilihat persetujuan pihak korban, dikenal adanya euthanasia sukarela dan tidak sukarela (Vrijwillige-Onvrijwillige Euthanasia). Euthanasia sukarela adalah suatu penerapan euthanasia secara sungguh-sungguh (Uitdrukkelijik en ernsting) dengan persetujuan dari pihak korban dan sebaliknya pada euthanasia tidak sukarela, adalah yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak korban. Dari kedua kategori tersebut yang dekat dengan rumusan pasal 344 KUHP adalah jenis pertama (Adji, 1989: 131).
Di samping kategori berdasarkan persetujuan tersebut, masih dikenal lagi adanya euthanasia aktif (positif) dan pasif (negatif). Kategori ini lebih banyak didasarkan pada bentuk tindakan dokter. Euthanasia aktif adalah bila si pelaku (in casu dokter) mengusahakan agar korban cepat menemui ajalnya dengan cara yang tidak menimbulkan sakit, sehingga orang tersebut terbebas dari penderitaan yang berkelanjutan atau berkepanjangan, yang disebabkan oleh penyakit yang tidak tersembuhkan lagi (Jakob, 1989: 12). Adapun teknik yang digunakan pelaku biasanya memberikan obat-obatan atau suntikan tertentu kepada korban. Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan sang pelaku dengan menghentikan segala usaha yang telah dijalankan guna menyembuhkan korban. Dengan penghentian tersebut, diharapkan korban lebih cepat meninggal dan berarti pendritaannya karena penyakit yang tidak sembuh-sembuh itupun akan cepat berlalu.
Berpijak dari pembagian itu, A.M. Capron (1983) dalam Encyclopedia of Crime and Justice, kemudian memerinci euthanasia dalam epat jenis yaitu :
1. Aktif atas pesetujuan korban (active voluntary euthanasie)
2. Pasif atas pesetujuan korban (passive voluntary euthanasie)
3. Aktif tanpa persetujuan korban (active nonvoluntary euthanasie)
4. Pasif tanpa persetujuan korban (passive nonvoluntary euthanasie)
Masalah euthanasia sebenarnya sudah dipersoalkan orang seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran. Di sisi lain, euthanasia pun tidak dapat dipisahkan dengan persoalan agama, filsafat dan hukum, khususnya dalam menyoroti esensi hidup dan pandangan mereka terhadap perbuatan bunuh diri. Dalam sejarah agama Kristen misalnya, dikenal adanya pembuangan bagi orang-orang yang menderita suatu penyakit tertentu seperti lepra atau kusta, para penderitanya diasingkan secara khusus di pulau atau tempat terpencil. Di tempat pembuangan tersebut, di tengah-tengah ketiadaan fasilitas medis, hampir dipastikan para penderita tadi hanya menunggu saat ajal menjemput mereka. Tetapi seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran, pandangan agama terhadap para penderita penyakitpun mulai berubah. Banyak penyakit yang semula dipandang incurable ternyata dapat disembuhkan. Kemajuan ilmu kedokteran telah membawa banyak perbaikan terhadap kondisi kesehatan manusia. Bersamaan dengan itu, kesadaran manusia untuk mempertahankan hidupnya juga semakin tinnggi. Kendati demikian, seberapapun usaha manusia untuk mempertahankan hidupnya agar semakin tinggi, namun kematian tetap harus dihadapi setiap mahluk yang benyawa. Bukankah dengan arif agama mengajarkan bahwa tiap mahluk yang bernyawa akan mati juga? Keinginan untuk mempertahankan hidup dan kenyataan bahwa manusia harus menghadapi maut, menjadi bahan perdebatan yang sengit. Para ahli kedokteran seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa si pasien (secara medis) tidak lagi dapat disembuhkan, atau hanya dapat dikatakan hidup berkat bantuan alat-alat medis semata, namun di sisi lain mereka dihadapkan pertimbangan etis apabila sengaja mengakhiri hidup pasiennya. Di luar profesi kedokteran juga terjadi kontroversi yang tidak kalah serunya. Berbagai kasus yang muncul di pengadilan membuktikan adanya gerakan pendulum etika dalam menilai euthanasia ini. Menyimak pada yurisprudensi yang ada di negeri Belanda dan Belgia, dapat diamati bahwa perkembangan euthanasia bergerak dari sikap melarang ke sikap membolehkan. Dari putusan-putusan pengadilan yang terkumpul antara tahun 1952 hingga tahun 1981, hampir semuanya memandang euthanasia sebagai perbuatan kriminal. Diantara perkara euthanasia yang dibawa pengadilan dalam kurun waktu itu, hanya satu perkara (1962) yang memberikan putusan bebas bagi terdakwanya. Pada tahun 1973, sebuah putusan lainnya pernah membuat persyaratan bagi seorang ahli medis untuk dapat dilepaskan dari pemidanaan karena euthanasia. Sedangkan untuk kasus Indonesia, sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang secara khusus menyangkut permasalahan euthanasia. Kasus-kasus yang bersangkutan yang berkaitan dengan dunia kedokteran biasanya lebih banyak berkenan dengan malapraktek. Konsep Etika
Etika yang dipungut dari bahasa yunani yaitu “Ethikos” (moral) dan “Ethos” (karakter), mencakup pengertian sebagai upaya manusia untuk menilai, atau memutuskan suatu perbuatan atau sikap, atau bagaimana suatu perbuataan harus dilaksanakan, yaitu perbuatan atau sikap mana yang baik dan yang buruk (Dewabrata, 1989: 4). Sebagai ilmu, etika mencari kebaikan. Sebagai filsafat, etika mencari keterangan (baik) yang sedalam-dalamnya, sehingga ada yang menyebut etika itu sebagai filsafat kesusilaan (poedjawiyatno,1984 : 6).
Mengingat Pancasila sebagai sumber etika dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum, maka sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan euthanasia berpedoman pada sumber tersebut. Jika mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur euthanasia masih bersumberkan kepada hukum warisan kolonial belanda yaitu pasal 338, pasal 359 dan pasal 345 KUHP yang tidak secara langsung menunjuk kepada euthanasia. Satu-satunya pasal yang agak dekat kaitannya adalah pasal 344 KUHP. Dalam pasal 344 KUHP dikatakan barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Redaksi pasal tersebut menunjukkan adanya persamaan dengan jenis euthanasia aktif atas persetujuan korban adanya kesukarelaan korban tersebut terlihat dari permintaanya sendiri yang dinyatakan dengan jelas dan sungguh-sungguh. Larangan tersebut dapat ditafsirkan sebagai larangan terhadap euthanasia dan dalam rancangan KUHP baru larangan tersebut masih dipertahankan (Sahetapy, 1989: 4).


BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
Dari pemaparan materi diatas yang berjudul “Euthanasia Perspektif Aksiologi”, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu :
1.      Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu.
2.      Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material.
3.      “Euthanasia” secara etimologi berasal dari kata “eu” yang berarti baik tanpa derita, dan “Thanatos” yang berarti mati, jadi secara sederhana euthanasia dapat diartikan sebagai bentuk kematian dengan tanpa mengalami penderitaan
4.      Dalam pasal 344 KUHP dikatakan barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun sebagaimana pasal yang tertuang diatas, maka secara pasti Euthanasia dari segi pandang Norma dan etika hukum.
3.2  Saran
Berdasarkan simpulan di atas penulis berharap segenap orang yang membaca makalah yang sederhana ini dapat mengkritisi materi-materi yang tersaji. Penulis menyarankan pembaca mampu membaca referensi-referensi terkait permasalahan yang tersaji dalam makalah ini. Jika memang tulisan dalam makalah ini salah atau menyimpang dari koridor keilmuan yang berlaku, penulis sangat mengharapkan adanya masukan yang bersifat kontruktif.
DAFTAR PUSTAKA
Admojo,Wihadi, 1998. KamusBahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka.
Amsal, Bakhtiar. 2009. FilsafatIlmu. Jakarta: Rajawali pers.
Crisdiono M.Achadiat,2007.DinamikaEtikadanHUkumKedokterandalamtantanganzaman, (Jakarta: EGC)
Dewabrata.,MaknaKodeEtik, Kompas 13 Mei 1989, Jakarta.
DjokoPrakosodanDjamanAndhi Nirwanto,1984. Euthanasia hakasasimanusiadanhukumpidana, (Jakarta:Ghalia Indonesia)
Harold H. Titus, et. al., The Living Issues of Philosophy, diterjemahkanoleh H. M. RasyididenganjudulPersoalan-PersoalanFilsafat(Jakarta: BulanBintang, 1984)
HuzaimahTahido Yanggo,2009.MasailFiqhiyahKajianHukum Islam Kontemporer, (Bandung: Angkasa)
Iyas Efendi,1989.EuthanaisaRatu Cleopatra duapuluhabadlalu, Kartini,
Jujun S. Suriasumantri.1991, IlmudalamPerspektif (Cet. IX; Jakarta:YayasanObor Indonesia).
J.Gunawandi, Hukum Medik,2007. (Jakarta: FakultasIlmuKedokteranUniversitas Indonesia)
J.E. Sahetapy., Euthanasia SuatuKajianterhadapLegalitikPositivistik, Makalah seminar Regional mahasiswahukum se DIY danJateng di UnikaAtmajaya Yogyakarta 24-25 April 1989.
Kartono Muhammad, 1984. Euthanasia dipandangdarietikakedokteran, (Jakarta: SinarHarapan)
L.R. Pudjawiyatna., 1984 Etika, FilsafatTingkahLaku, BinaAksara, Jakarta
Surajiyo. 2007. FilsafatIlmudanPerkembangannya di Indonesia.Jakarta: BumiAksara.
Suriasumantri, Jujun S.1990. Filsafatilmu: SebuahPengantarPopuler.Jakarta:
Soetriono, & Hanafie,Rita.2007. FilsafatIlmudanMetodologiPenelitian. Yogyakarta: Andi.PustakaSinarHarapan.
Waluyadi,2005.IlmuKedokteranKehakiman, (Jakarta: Djambatan)



0 komentar:

Posting Komentar